Selasa, 20 Oktober 2009

Mengukir Kesan Bersama Orang Mesir (Sebuah Kisah Nyata) Bag. I


Karya : Miftahur Rahman el-Banjary*
(Cerpenis, Mahasiswa Sastra di Univ.Dual Arabiyyah, Cairo)

Jauh sebelum aku menginjakkan kakiku di negeri Anbiya ini, aku sudah pernah bergaul secara langsung dengan orang Mesir. Dari pengalaman itulah, secara tidak langsung aku banyak belajar tentang karakter dan tabiat mereka, sehingga ketika takdir menggoreskan bahwa aku harus menjalani kehidupan di negeri Sungai Nil ini, tak terasa begitu sulit bagiku menghadapi karakter mereka yang sesungguhnya.

Persis sebagaimana yang pernah digambarkan oleh kang Abik alias Habiburrahman el-Shirazy di dalam novel "Ayat-Ayat Cinta"-nya, bahwa secara umum karakter dan tabiat orang Mesir, ada yang berwatak lembut, penyantun, dan ramah sebagai pencitraan terhadap warisan karakter nabi Musa serta nabi Yusuf as, dan sebaliknya ada pula yang berwatak kasar, menyebalkan, dan keras kepala layaknya sifat Fir'aun. Pengalaman inilah yang kemudian aku tuliskan menjadi sebuah cerita pendek bergaya sastra, agar pembaca lebih mudah memahami alur ceritanya. Ada banyak pengalaman unik, konyol, sekaligus menggelitik di dalam ceritanya. Dan banyak pula serpihan hikmah dan pelajaran berserakan pada kisah ini yang dapat dijadikan tambahan wawasan bagi pembaca untuk memahami tabiat manusia dibelahan bumi sana. Semoga bermanfaat.

Penulis awali cerita ini dengan terlebih dahulu memperkenalkan dua tokoh orang Mesir. Tokoh pertama adalah Syekh Hafidz Muhammad Hafidz. Dan kedua adalah Syekh Ismail Toha Hasan. Keduanya adalah dosen utusan dari Universitas al-Azhar, Cairo yang bertugas mengajar di kampus IAIN Antasari, Banjarmasin. Dan keduanya pula memiliki sikap yang jauh berbeda, seorang menggambarkan sikap yang lembut dan ramah, sedangkan yang seorang lagi menggambarkan watak yang keras dan egois. Sebenarnya tidak adil, kalau penulis memvonis bahwa karakter dua tokoh ini adalah gambaran karakter orang Mesir secara keseluruhan, tapi paling tidak keduanya bisa menjadi miniatur karakter sebagian kecil dari orang Mesir, berdasarkan pengalaman realita yang penulis alami. Selamat menikmati!

Banjarmasin, di pertengahan bulan September 2005.
Menjelang satu hari sebelum datangnya bulan Ramadhan 1426 H, di sebuah rumah kost 'Escobar' yang aku tempati di kawasan Bina Brata itu tampak lengang. Usai shalat maghrib, tiba-tiba HP-ku berdering. Aku pencet salah satu tombolnya.
"Assalamu'alaikum?" Terdengar si penelpon memberi salam kepadaku terlebih dahulu.
"Wa'alaikum salam!" sahutku singkat.
"Ini benar Miftah?" Sebuah pertanyaan yang hanya cukup memerlukan jawaban, iya atau tidak!
"Iya, benar, Pak! Ada yang dapat saya bantu?"
"Saya Bapak Abdurrahim, Lc!" Tampaknya si penelpon tak lupa menyebutkan titelnya agar aku bisa langsung mengenalinya.
"Owh Bapak! Ada apa, Pak?"
"Begini, saya atas nama pihak rektorat meminta kesedian saudara untuk menjadi asisten pembantu dosen, Syekh yang baru datang dari Mesir itu. Apakah saudara bersedia?"
Aku terdiam sejenak.
"Apa tidak ditawarkan kepada yang lain dulu, Pak?"
"Tidak! Saya hanya mengharapkan saudara saja!"
"Kalo boleh tahu siapa nama Syekh yang baru datang itu, Pak?"
"Namanya Syekh Ismail bin Toha bin Hasan."

Tak berapa lama kemudian, sang penelpon kembali melanjutkan kata-katanya. Bagaimana dengan tawaran saya? Saya harap saudara Miftah bersedia menerimanya?" Sebuah pengharapan yang sulit untuk ditolak.
"Insya Allah, Pak! Saya hanya bisa membantu sekedar kemampuan saya."
"Kalau begitu, besok ba'da maghrib saya tunggu di mesjid kampus. Sementara permintaan ini saya sampaikan secara lisan saja dulu. Nanti soal surat rekemondasi dari rektorat akan segera menyusul. Ok!"
"Insya Allah, Pak!"
"Ma'assalam!" Klik!
***
Sebenarnya aku masih ragu dengan keputusanku untuk menjadi asisten pembantu Syekh dari Mesir itu. Aku harus mengambil keputusan delematis. Di satu sisi aku harus berkonsentrasi penuh dengan skripsiku, dan sisi lain kedatangan syekh yang baru ini merupakan kesempatan yang berharga bagiku untuk banyak belajar memahami tabiat orang Mesir dan budayanya, sebagai persiapan kelak ketika aku tinggal di negeri mereka.

Keinginan untuk melanjutkan studi S.2 ke Mesir sebenarnya sudah tertancap kuat semenjak aku dibangku Madrasah Tsanawiyah, tujuh tahun yang lalu. Dan keinginan itu baru terwujud semenjak aku berhasil lulus program beasiswa al-Azhar yang kuikuti beberapa bulan yang lalu. Tapi, bukan karena alasan bahwa sebentar lagi aku akan berangkat ke Mesir, sehingga Pak Abdurrahim memintaku untuk menjadi asisten pembantu syekh yang baru datang dari Mesir itu. Bukan itu alasannya, Kawan! Permintaan itu lebih tepatnya adalah sebuah nilai kepercayaan.

Jauh sebelum kedatangan Syekh yang baru ini, aku sudah akrab dengan seorang syekh muda yang juga utusan dari Universitas al-Azhar Mesir untuk mengajar di kampusku, IAIN Antasari Banjarmasin. Syekh muda itu bernama Syekh Hafidz Muhammad Hafidz, yang lebih akrabnya aku panggil dengan sebutan Syekh Hafidz. Beliau datang pada tahun 2003 yang lalu. Bagiku yang saat itu sangat tertarik sekali untuk memperdalam bahasa Arab, kedatangan dosen tersebut merupakan kesempatan emas untuk melatih kecapakan berbahasa dengan native speaker-nya secara langsung. Berawal dari motivasi itulah, aku mulai berkenalan dan akrab dengan beliau.

Hal yang paling kukagumi dari pribadi Syekh Hafidz adalah sikap yang santun, ramah, dan suka tersenyum. Selalu tampak ceria. Menyambut siapapun yang berkunjung dengan kehangatan. Tak pernah mengeluh. Lebih banyak memberi daripada menuntut. Terlebih kemulian akhlak itu berpadu dengan ketampanan wajah yang Allah karuniakan kepada beliau, sehingga tak salah bahwa nabi Yusuf as pernah dibesarkan dan tinggal di negeri itu. Suatu kelebihan yang tidak dimiliki oleh Negara Arab lainnya. Beliaulah orang Mesir yang pertama kali aku kenal yang kelak membawaku ke negeri sungai Nil ini. Kesan perkenalan itulah, akhirnya yang membentuk pencitraan dibenakku bahwa semua orang Mesir adalah baik seperti beliau.

Tak terasa dua tahun berlalu, Syekh Hafidz telah menyelesaikan masa tugasnya. Beliau dan dan keluarganya harus kembali ke Mesir. Kami pun harus berlapang dada melepas keberangkatan beliau. Dengan linangan dan deraian air mata kami melepas keberangkatan beliau sekelurga. Sejuta do'a dan harapan terajut semoga masih bisa dipertemukan kembali. Setelah aku tinggal di Mesir dan bergaul dengan kehidupan mereka sehari-hari, barulah aku menyadari bahwa Syekh Hafidz dan keluarganya merupakan orang Mesir terbaik yang pernah aku jumpai sepanjang hidupku.

Dan berselang enam bulan kemudian, semenjak kepulangan Syekh Hafidz dan keluarganya, aku mendengar berita bahwa tak akan berapa lama akan datang lagi pengganti Syekh Hafidz yang baru. Seorang dosen utusan dari Universitas al-Azhar juga. Aku berharap semoga pengganti yang baru ini lebih baik dari Syekh Hafidz, kendatipun sulit untuk mengatakan bahwa ada yang lebih baik daripada Syekh Hafidz, tapi paling tidak kebaikan dan kelebihannya bisa setara, sebab bagiku Syekh Hafidz merupakan sosok orang Mesir yang paling berkesan di hatiku.
***
Keesokan harinya, usai shalat maghrib aku bersama Pak Abdurrahim menuju rumah syekh yang baru tiba dari Mesir itu. Rumah yang disediakan untuk Syekh itu, adalah rumah dinas sederhana dilingkungan kampus yang pernah ditinggali oleh Syekh hafidz dan keluarganya.

Sesampai disana Pak Abdurrahim pun mengetuk pintu. Terdengar suara sahutan dari dalam rumah, "mîn?" Serta merta yang ditanya menyebutkan namanya. Korden disingkap dan daun pintu pun terbuka. Sang tuan rumah mempersilahkan kami masuk dan duduk.

Di dalam rumah yang pernah ditempati Syekh Hafidz dan keluarganya itu pun masih tampak berantakan dengan barang-barang peralatan yang baru dibeli. Maklumlah, semenjak ditinggalkan oleh Syekh Hafidz, rumah dinas tersebut tidak terurus lagi. Dan baru dibersihkan kembali seminggu, menjelang kedatangan Syekh baru itu.

Inilah untuk pertama kalinya aku berhadapan dengan sosok Syekh Mesir yang bernama Syekh Ismail itu. Orangnya tua, berperawakan kurus jangkung, dan berkulit sawo matang. Pak Abdurrahim pun memperkenalkanku sebagai asisten pembantu yang akan banyak membantu mengurusi keperluan beliau selama berada di Banjarmasin ini.

Aneh! Aku merasakan suatu penyikapan yang jauh berbeda syekh baru ini dibandingkan dengan Syekh Hafidz yang pernah aku kenal. Syekh baru ini terkesan pendiam dan hanya lebih banyak mengangguk. Bahkan, wajahnya tampaknya susah sekali untuk tersenyum. Dan penyambutannya pun dingin, tak bergairah. Namun, aku berusaha memakluminya, barangkali perjalanan yang melelahkan atau lingkungan asing yang baru membuat beliau perlu waktu untuk beradapatasi.

Keheningan dan kesunyian menepi. Suara detakan jarum jam lebih jelas terdengar daripada suara penghuni di rumah itu. Sesekali bunyi jangkrik saling bersahut-sahutan memecah keheningan malam. Suasana benar-benar terasa dingin dan membeku. Tak ada kata-kata basa-basi atau pertanyaan-pertanyaan lain yang terlontar dari mulut syekh baru itu, selain hanya basa-basi yang berulang kali mempersilahkan tamunya untuk mencicipi kue 'dunkin donat' yang masih tersisa beberapa buah di atas meja ruang tamu itu.

"Kul!" Ujar syekh yang bernama Syekh Ismail itu menyuruh tamunya untuk menikmati kue donat itu. Tangannya sedang asyik menyeduh teh celup sariwangi. Aku hanya menyunggingkan senyuman, laksana seekor kucing yang tampak sopan dihadapan tuannya.

"Kul!" kedua kalinya sang syekh menawarkan kue itu. Menanggapi tawaran itu, seketika aku teringat perkataan yang pernah diceritakan salah satu dosenku, bahwa hal yang paling membuat orang Mesir tersinggung adalah ketika menolak hidangan makanan yang mereka suguhkan. Sebenarnya aku tidak terlalu yakin dengan pendapat itu, terlebih lagi setahuku dosenku itu juga tidak pernah ke Mesir. Tapi, tak apalah jika aku mengunakan cara ini untuk mengambil hati orang Mesir ini. Inilah yang kemudian aku sebut dengan diplomasi politik ala bunglon, yaitu kemampuan menyesuaikan dengan lingkungan agar bisa menjadi bagian dari lingkungan tersebut. Akhirnya, aku pun mengambil sepotong kue donat tersebut. (Kalau disuguhkan makanan enak, tanpa folisofi bunglon pun aku tak akan menolak, hehe…).

Aku melirik ke arah Pak Abdurrahim disampingku. Beliau tampak serius membaca Koran dihadapannya. Perlu aku ceritakan bahwa orang yang bernama Pak Abdurrahim ini penampilannya layaknya seorang professor. Perawakannya gempal. Kepalanya botak, dan lebih suka memakai kacamata kecil yang dikaitkan di batang hidungnya. Jika membaca cukup melihat ke bawah dan jika menatap orang lain cukup mengintai dari balik kacamatanya. Sungguh unik! Penglihatan yang mempunyai multifungsi.

Kendatipun beliau diam seribu bahasa, namun aku bisa merasakan kegelisahan yang menyelimutinya, sesekali beliau menghela nafas panjang. Dari jidat beliau yang sudah licin sampai ke ubun-ubun, tampak keluar buliran keringat dingin. Barangkali beliau sedang memikirkan seribu satu cara untuk membuka pembungkam yang mengunci mulut si syekh baru ini agar mau diajak berbicara. Sedangkan aku hanya berpikir enjoy sambil menikmati kue donat yang lezat itu. Aku hanya berpikir, memang enak menjadi asisten dosen. Paling tidak, saat ini aku bisa merasakan kelezatan kue donat ini gratis, hehe…

Kali ini Syekh Ismail membuka bungkusan plastik kecil berwarna hitam, dan mengeluarkan beberapa biji mentimun. Krak! Tak ayal lagi, mentimun yang masih belum dikupas kulitnya itu digigit dengan kekuatan gigi taringnya. Bahkan, setahuku mentimun itu belum lagi sempat dicuci, tapi dengan lahapnya sang syekh itu menikmatinya.

"Kul!" Untuk kesekian kalinya, syekh itu memerintahkan tamunya untuk menyantap mentimun yang tersedia di atas meja tamu itu. Mata Syekh Ismail melirik mataku. Sorotan matanya mengisyaratkan agar aku segera mengambil mentimun itu, dan ikut memakannya. Semula aku ragu-ragu untuk mengambilnya. Keraguanku berangsur hilang, ketika kembali teringat perkataan dosenku yang pernah mengatakan bahwa orang Mesir bisa mendadak marah jika makanan yang ia hidangkan ditolak untuk dimakan. Tanpa ragu-ragu, aku mengambil potongan mentimun yang paling kecil.

Krak! Tanpa pikir panjang, akupun ikut mengerat mentimun itu dengan gigi taringku. Apakah mentimun itu sudah dikupas kulitnya atau belum, sudah dicuci bersih atau belum? Aku pun tak memperdulikan lagi hal itu. Paling tidak, aku berharap usahaku ini ampuh untuk menarik simpati orang Mesir ini. Inilah yang seperti kukatakan tadi, filosofi ala bonglun, hehe…

Aku kembali melirik ke arah Pak Abdurrahim. Beliau mengalihkan pandangan ke sudut langit-langit atap, seperti kucing yang sedang mengintai cecak. Barangkali dalam hatinya berkata, "rakus atau kelaparan yach anak ini, sehingga mau juga ikut-ikutan makan mentimun bersama si Arab ini, tanpa dikupas dan dicuci terlebih dahulu?"

Aku hanya menyunggingkan senyuman. Senyuman yang mengisyaratkan bahwa strategi yang kuambil ini adalah sebuah sikap diplomatis politis untuk menarik simpati, Pak! Dan salah satu sikap diplomatis itu bisa juga dilakukan dengan ikut makan mentimun mentah, tanpa kupas kulitnya, iya khan, Pak?

Suasana masih tetap membeku seperti sediakala. Pak Abdurrahim asyik membaca Koran. Aku mengikuti setiap perintah syekh baru itu. Dan syekh baru itu seakan asyik dengan santapan yang tergelatak di meja ruang tamu itu.

Kali ini tantangan yang aku hadapi lebih berat daripada tantangan-tantangan sebelumnya. Jika tantangan sebelumnya, hanya perintah makan kue donat yang lezat, makan mentimun mentah tanpa dikupas dan tanpa di cuci. Kali ini sang Syekh menyodorkan sebuah bungkusan plastik yang berisi beberapa batangan kecil wortel mentah.

"Kul!" Perintah terakhir yang terlontar dari mulut syekh baru itu. Aku mengerinyatkan keningku. Aku mencoba menatap polos wajah syekh tua itu, apakah wajahnya ada kemiripin dengan binatang pengerat, kelinci atau marmut? Dan hasilnya wajah beliau normal-normal saja, hehe…

Aku terdiam sejenak. Dan melirik ke wajah Bapak Abdurrahim. Wajah Abbdurrahim mengerucut menahan tawa. "Sekarang inikah yang kau namakan diplomasi politik ala bunglon anak muda?" Barangkali kata-kata itu yang ingin ia hembuskan kepadaku. Jika aku masih mempertahankan filosofi bunglon untuk mengambil simpati syekh muda ini, maka resikonya adalah mempertaruhkan gigiku bertarung dengan wortel yang keras. Bagaimana mungkin aku disuruh makan wortel mentah yang keadaannya persis dengan mentimun tadi. "Emangnya gue kelinci percobaan napa?" Inilah cerita malam pertama perkenalanku dengan Syekh Ismail yang tidak secara langsung telah melunturkan pencitraan bahwa semua orang Mesir berakhlak seperti Syekh Hafidz terdahulu. Dan akhirnya staregi bunglon yang kuyakini mengalami kegagalan, hehe…

Cerita ini hanyalah awal dari sebuah prolog, Kawan! Masih banyak lagi kekocolan-kekocolan yang aku alami bersama syekh Mesir ini. Mau kisah selanjutnya ikuti terus kisah ini…
***
Ketika berlalu pulang dari rumah itu, aku mendapatkan cerita baru lagi dari Pak Abdurrahim tentang cerita syekh Ismail itu. Cerita begini, kawan! Pada tengah malam, syekh Ismail pun tiba di Banjarmasin dan disambut beberapa orang dosen di bandara Syamsudin Noor, lalu langsung dijemput ke rumah dinas yang disediakan dilingkungan kampus, tepatnya bersebarangan dengan rumah dinas rektor.

Awal pertama kali turun dari mobil, syekh baru itu tampak kebingungan dengan kondisi tempat tinggal yang barangkali jauh dari dugaannya sebelumnya. Maklumlah, tempat tinggal yang disediakan pihak rektorat hanyalah sebuah rumah sederhana berukuran 8x 8 meter. Dan tentunya jauh dari mewah. Lama beliau berdiri mematung memandangi rumah mungil itu. Tampak ada penyesalan kenapa ia harus ditempatkan di rumah seperti ini?

Setelah berkali-kali diajak masuk ke dalam rumah, akhirnya syekh Mesir itu pun mau ikut masuk. Tanpa melepas sepatu terlebih dahulu, beliau langsung masuk ke dalam rumah dan meneliti setiap sudut ruangannya dengan seksama. Mulai dari kamar tidur, sampai kamar mandi. Maklumlah sejak ditinggalkan oleh Syekh Hafidz dan kelurganya, tak seorang pun yang mengurusi rumah itu, hingga banyak bagian dinding dan atapnya yang sudah rapuh.

Ditengah-tengah keasyikan menelisik setiap ruangan, tanpa diduga tiba-tiba muncullah seekor tikus yang sangat besar melintas di depan syekh Ismail dan tak ayal lagi, syekh Mesir itu sontak berteriak ketakutan. Dan bermula dari kejadian itulah, syekh Mesir itu menuntut untuk dicarikan seseorang untuk menjadi asisten pembantu pribadinya. Dan pilihan itu tertuju kepadaku. Sungguh kasihan, hiks..hiks..
***

Keesokan harinya, bertepatan dengan hari pertama awal bulan Ramadhan 1426 H, sesuai dengan perjanjian tadi malam, syekh Ismail memintaku untuk menemaninya berbelanja ke pasar. Tepat jam 10.00 pagi aku bergegas menuju rumahnya. Begitu sampai disana, aku dapati rumah beliau sudah terbuka. Aku ucapkan salam. Ternyata syekh itu sedang menerima tamu; seorang dosen yang baru berkunjung. Aku sempat berbasa-basi sebentar dengan dosen tersebut. Kuberitahukan bahwa Syekh Ismail mengajakku untuk berbelanja ke pasar untuk membeli barang-barang yang masih diperlukan. Sang dosen menyarankan untuk berbelanja ke pasar tradisional saja yang lebih dekat dengan kampus. Bahkan dosen itu menawarkan bantuan untuk ikut menemani.

Namun, tanpa banyak bicara syekh Ismail berdiri dan memakai kaos kaki. Mengeluarkan sepatu dan bersiap menutup pintu, sedangkan sang tamu masih duduk di sofa. Aku tercengang. Menurutku sikap beliau kali ini, benar-benar kurang sopan dan tak menampakkan sikap penghormatan kepada tamunya, dan lebih kepada sikap pengusiran secara tidak langsung. Tak ayal sang dosen pun tampak kikuk dan segera berdiri dan bergegas keluar dari rumah itu.

Aku menghela nafas panjang. "Beginikah sikap orang Mesir mengormati tamunya?" gumam batinku. Sebuah sikap yang sangat kontras sekali dengan sifat Syekh Hafidz yang terdahulu, apalagi dibandingkan dengan profesi beliau sebagai seorang dosen yang menyandang titel seorang 'syekh' yang berpengetahuan agama yang luas. Tak apalah, barangkali itu tabiat beliau. Aku tidak boleh terlalu cepat menghukumi orang lain secara subjektif, terlebih lagi mengatasnamakan sebagai bagian sifat orang Mesir. Aku berusaha memakluminya.

Syekh Ismail mengunci pagar rumah dan kami pun meningggalkan rumah. Pada mulanya kami berjalan bertiga, namun tiba-tiba Syekh Ismail berjalan mendahului kami. Aku mempercepat langkahku menyusul syekh Ismail. Tanpa kuduga dengan mimic yang kurang menyenangkan beliau bertanya kepadaku, "Kenapa orang itu mengikuti kita?" Matanya melirik ke belakang ke arah dosen yang muda itu.

Aku jelaskan bahwa orang itu salah satu dosen di kampus ini, dan beliau hanya ingin menemani berbelanja di pasar. Namun, syekh itu tampaknya memang tidak suka diikuti tanpa ada persetujuan darinya terlebih dahulu. Kami terus berjalan meninggalkan pintu gerbang 'kampus hijau' itu. Sang dosen yang merasa tidak diacuhkan oleh sang syekh merasa kikuk, dan menghilang entah kemana. Tinggallah kami berdua. Lantaran jarak pasar yang kami tempuh kurang lebih berjarak 500 m, aku lebih memilih untuk menaiki becak. Putaran demi putaran roda becak, akhirnya membawa kami tiba di pasar Pandu.

Sebagaimana lazimnya sebuah pasar tradisional, ratusan orang bahkan lebih memadati pasar. Suara pedagang yang menawarkan dagangannya dan penjual yang menawar bergemuruh bergumul menjadi satu. Demi melihat sesosok orang asing di pasar itu, beberapa bola mata terus menerus memperhatikan kami tak berkedip. Kehadiran syekh Ismail mengundang perhatian orang-orang di pasar itu. Namun, kami terus berjalan tanpa menghiraukan keheranan mereka. Dan tugas pertamaku di pasar ini adalah berperan sebagai penterjemah.

Syekh Ismail berhenti sebentar, dan mulai mengedarkan pandangannya. Lalu mengeluarkan secarik kertas yang berisi sederetan barang-barang yang ia perlukan. Dia mengangguk perlahan, dan kemudian memasukkannya kembali ke saku gamisnya. Matanya tertuju kepada sebuah toko yang menjual air mineral. Di depan toko tersebut berjejer galon-galon besar bertuliskan Aqua. Itulah toko pertama yang kami singgahi.

"Ada yang bisa dibantu?" Tanya pedagang itu ramah.
"Saya mau ini, tanyakan berapa harganya?" perintah syekh Ismail kepadaku, sembari menunjuk sebuah galon besar. Aku pun menanyakan harganya dengan penjualnya.

"Kalau air mineral dengan galonnya harganya Rp. 17.000, sedangkan kalau hanya isinya saja alias daur ulang harganya hanya Rp. Rp. 5.000 saja," ujar penjual itu menjelaskan. Aku pun kembali menterjemahkan penjelasan si penjual itu ke dalam bahasa Arab.

"Hmm…." syekh Ismail mengganguk perlahan. "Bilang sama penjualnya, kurangi separuh harga!" Perintah syekh Ismail kepadaku.

Gila! Mana ada penjual yang mau menjual barang kebutuhan setiap hari seperti itu dengan separuh harga. Bisa-bisa aku dianggap tidak waras oleh pedagang di pasar itu. Tugasku memang sebagai penterjemah yang menterjemahkan apa saja yang diinginkan oleh syekh Mesir ini, tapi soal menawar separuh harga dalam transaksi jual beli barang yang sudah lazim harganya di pasaran merupakan hal yang sama sekali tidak masuk akal. Tidak! Aku tidak akan melakukan perintah itu. Absurd!

"Maaf, Syekh! Disini barang-barang kebutuhan sudah dijual harga pas. Jika masih mau menawar juga tidak sampai separuh harga." Aku menjelaskan kepada syekh Ismail. Namun, penjelasanku hanya dianggap angin lalu saja. Sang syekh hanya berdecit "cccctttt", lengkap dengan jari telunjuk yang digoyangkan-goyangkan sebagai isyarat bahwa beliau tidak berkenan membeli barang itu.

"Laa!" Urîdu nisf, bas!" Saya hanya ingin separuh harga, titik!"

Aku menghela nafas panjang. Ku tak habis pikir dengan sikap syekh baru ini, apakah dia merasa terbodohi, ataukah memang tak mempunyai banyak uang. Untuk alasan yang kedua ini, rasanya sunguh tidak masuk akal, sebab mana mungkin dosen terbang dari luar negeri seperti beliau, tidak membawa uang sebagai awal persediaan menjalani kehidupan di kota Banjarmasin ini. Dan akhirnya, kami pun meninggalkan toko itu. Aku bisa menangkap sikap keheranan orang-orang disekitar pasar. Sesekali mereka terlihat berbisik-bisik, atau hanya sekedar melirik-melirik. Namun, kami terus berjalan mengitari pertokoan yang berjejer memanjang membentuk huruf U itu.

Berlalu dari toko pertama, Syekh Ismail mengajakku ke toko yang menjual alat-alat kelontongan. Sang penjual menyambut dengan senyuman. Senyuman yang dibuat-buat manis, demi menarik hati pelanggan. (Apalagi ini ada pembeli dari Arab, pasti banyak fulusnya, barangkali begitu pikirnya, hehe…)

"Ada yang bisa dibantu?" Tanya sang penjual. Aku hanya menyunggingkan senyuman, sebagai perwakilan dari senyuman sang syekh yang tampak susah sekali mengembangkan bibirnya. Sang syekh dengan seriusnya mengedarkan pandangan melihat-melihat susunan barang yang tersusun rapi di rak jualan. "Aiez dha!" Beliau menunjuk sebuah alat pembasmi nyamuk dan serangga. Sang penjual segera mengambilkan sebuah botol berwarna hijau yang bertuliskan di depan kalengnya "Baygon" jaminan mutu, ampuh membasmi nyamuk, serangga dan kecoa.

"Kam dha?" Tanya sang syekh menatap serius si penjual.
"Berapa harganya, Pak?" Aku bergegas menterjemahkan ke bahasa yang dipahami oleh si penjual.

"Seperti biasa, harganya Rp. 12.00 saja!"
"Itsna 'asyar alf," aku mentranslit kembali lagi ke syekh itu.
"Laa!" Urîdu nisf! Coba tawar separuh harga saja," ujar syekh Isamail menatapku serius.

Tampaknya apa yang ada dibenak beliau, semua barang harus ditawar separuh harga. Aku tak tahu siapa yang memberikan informasi keliru ini kepada syekh baru ini. Apa dikira pasar ini pasar obral, sehingga semua harga harus dibanting murah? Sungguh aku tak mengerti dengan cara berpikir orang Mesir ini. Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Kesal. Dongkol bercampur menjadi satu. Namun, aku tetap berusaha menyembunyikan kekesalanku. Dan dengan sabar menjelaskan bahwa lebih baik membelinya lain kali saja, daripada aku harus menebalkan wajahku.

"Apa beliau bilang, dik?" Tanya si penjual yang merasa penasaran dengan percakapan yang tidak ia mengerti sama sekali. Aku bisa pastikan jika ia mengetahui keinginan syekh itu ingin menawar harga barangnya separuh harga, aku yakin dia tak kalah dongkolnya dengan perasaanku saat ini.

"Nanti saja, Pak! Kami mau berbelanja barang-barang yang lain dulu," ujarku sambil kembali menyerahkan botol hijau itu. Dan tanpa banyak bicara aku berlalu meninggalkan toko itu. Bagaikan seekor anak ayam yang ditinggalkan induknya, mau tak mau Syekh Mesir itu terpaksa menguntitku dari belakang.

Tak ada satu barang pun yang kami beli, melainkan singgah dan berlalu begitu saja. Alasannya hanya si syekh tidak berkenan membeli apapun, tanpa mendapatkan potongan separuh harga. Hampir satu jam berlalu, kami hanya mendapatkan satu teko kecil saringan teh, seekor ayam pedaging, sekilo tepung terigu untuk membuat roti berserta obat pelembut adonannya. Aku tak habis pikir kenapa sang syekh ini sangat alot untuk mendapatkan harga semurah mungkin, jauh dari harga standar yang sebenarnya? Dan pertanyaan itu baru aku dapatkan ketika aku sudah berada di Mesir. Mau tau apa? Penasaran bukan? Ikuti cerita selanjutnya dibawah ini…
***
Matahari semakin merangkak tinggi ke pusat bubungan langit. Cahaya teriknya membakar ubun-ubun. Beberapa kali aku menyeka buliran keringatku yang mengucur deras. Kerongkonganku terasa mencekik. Aku sangat haus sekali, dan aku ingin mencari penjual minuman. Cepat-cepat aku teringat bahwa hari adalah hari pertama kali bulan Ramadhan. Matahari masih terasa membara, sebagaimana kedongkolan hatiku saat ini. Namun, aku tetap bersabar menghadapi syekh baru ini. Hari ini kesabaranku memang benar-benar sedang diuji. Inilah pertama kalinya aku mengenal sifat orang Mesir yang menyebalkan.

Usai berbelanja kami bersiap pulang. Aku mengajak syekh Ismail kembali menaiki becak. Sebelum naik becak beliau menyuruhku untuk menanyakan terlebih dahulu harganya.

"Berapa, Pak?" tanyaku kepadaku seorang penarik becak yang sudah terlampau tua. Dengan suara serak ia menjawab, "Terserah aja, kayak biasalah!"

Tanpa banyak komentar lagi, aku mengajaknya menaiki becak. Becak pun didorong dan kemudian dikayuh oleh empunya dengan kekuatan otot-ototnya yang menonjol sebagaimana urat-uratnya yang menyembul ke permukaan kulitnya. Becak berjalan lambat. Tampaknya penarik becak ini terlampau lanjut usia untuk sebuah pekerjaan yang berat seperti ini. Semangatnya mengalahkan staminanya. Semangat itu bernama tuntutan hidup untuk menafkahi anak dan istirnya. Dan roda becak pun menggelinding perlahan diatas jalan raya.

Ditengah perjalanan pulang, sang syekh kembali bertingkah. Dengan nada setengah berteriak, sang syekh berkali-kali mengatakan, "Al-ân Urîdu Mandîrî! Aku bisa memahami bahwa keinginan beliau selanjutnya adalah diantarkan ke Bank Mandiri untuk mengambil uang. Berkali-kali pula aku jelaskan bahwa bahwa hari ini adalah hari sabtu, yang berarti dimana-mana bank juga tutup. Namun, dia tetap berserikeras. Ngotot. Tak mau mengalah alias keras kepala. Syekh itu terus merengek seperti anak kecil yang meminta kepada ibunya agar dibelikan ice cream.

Aku sendiri juga sebenarnya tidak tahu dimana letak bank tersebut secara tepatnya. Akhirnya, aku terpaksa mengalah dan menuruti kehendaknya. "Pak! Pak! Bapak tahu Bank Mandiri nggak?" Tanyaku setengah berteriak kepada penarik becak itu.

"Oh disana! Di dekat Pal 5," sahutnya agak keras.

"Tolong antarkan kesana aja, Pak!"
"Iya!" Tanpa ada sahutan lain, becak terus berjalan.

Padahal hanya beberapa meter lagi, kami sudah tiba kembali di pintu gerbang IAIN. Jika meneruskan ke Pal 5, berarti paling tidak kami harus menempuh jarak kurang lebih 500 meter lagi, dan menambah ongkos tambahan. Tapi apalah, yang penting si Syekh Mesir ini tidak cerewet lagi. Dan ketika melewati pintu gerbang IAIN semula, becak pun terus berlalu.

Setiap pinggiran jalan aku cermati dengan seksama, tak ada satu pun bank yang dimaksud. Aku sempat berpikir juga, kenapa aku begitu yakin dengan jawaban bapak tukang becak ini bahwa disekitar kawasan Pal 5 ini berdiri sebuah bank, padahal aku hapal betul kawasan ini. Dan sepengetahuanku tidak ada satupun bank yang berdiri dikawasan ini. Aku cepat-cepat mengusir kegundahanku. "Siapa tahu ada bank yang tidak sempat aku perhatikan atau ada bank yang baru berdiri."

Roda tiga itu terus berputar menggelinding di atas aspal. Benar-benar tak ada tanda-tanda bahwa ada bank di kawasan ini. Syekh Mesir itu pun tak mau diam. Dia terus menerus mendesakku untuk kembali menanyakan kepada sang penarik becak.

"Coba tanyakan lagi, apakah disini betul ada Bank Mandiri," desak sang Syekh sok tahu.
"Kalau bank yang lain gimana, Syekh?"
"Laa! Urîdu Mandîrî! Bas!" Sebuah jawaban yang menyebalkan yang kudengar sejak berbelanja di pasar tadi.

"Bapak yakin disini ada bank?" Aku menyaringkan suaraku agar didengar jelas oleh bapak penarik becak itu. "Seingat saya kayaknya memang ada disekitar sini, tapi saya lupa juga dimana tepatnya," sahut si penarik becak sambil terus mengayuh becaknya.

Aku gelisah. Keringat semakin banyak bercucuran membasahi bajuku. "Ya udah, Pak! Kalau tidak ada kita kembali aja lagi ke IAIN," ujarku. Bapak penarik becak itu pun memutar haluan berbelok arah.

"Isma'! al-Ân Urîdu Mandîrî! Aina Mandiri, heh?" Dengar baik-baik! Saya perlu ke Bank sekarang! Dimana Bank Mandiri, heh?" Suaranya yang parau terasa menusuk-nusuk telingaku.

Aku berusaha cuek dan mengalihkan pandanganku. Aku tak perduli lagi dengan ocehannya. Sang Syekh itu marah-marah dan membentak-bentak kepadaku. Satu pertanyaannya yang bisa kutangkap syekh itu bertanya kepadaku, "Berapa ongkos becak kamu bayar?"

"Kesepakatan dari pasar ke IAIN 5.000 rupiah, dan untuk tambahan mencari bank ini paling tidak kita harus menambah 5.000 rupiah lagi."

"Sudah!" Tidak perlu dibayar!"
"Apa???" Aku terperanjat kaget.

Gila apa? Dikira bapak tukang becak ini malaikat apa, sehingga tak perlu dibayar sama sekali dari perasan keringatnya yang mengucur deras dan sengatan matahari yang meradang?

"Kenapa tidak bayar, Syekh?"

"Bukankah dari pertama kita sudah sepakat bahwa dia akan mengantarkan ke Bank Mandiri. Dan sekarang dia juga tidak tahu tempatnya. Dia pendusta! Jadi tak perlu kita bayar."

Aku muntab.

"Syekh ini bukan Mesir! Ini Indonesia! Kami punya budaya dan tata karma. Mana mungkin kita tak membayarnya, sedangkan bapak tukang becak ini sudah bersusah payah menolong kita! Apalagi penarik becak ini muslim, yang berarti dia juga berpuasa seperti kita. Tidak membayar ongkos becak ini, sama halnya kita mendzalimi saudara kita sendiri. Sudah kalau syekh tidak mau bayar, biar saya yang bayar!"

Syekh Ismail pun terdiam membisu. Tiba-tiba terdengar teriakan si tukang becak bersemangat. "Nah itu, Dik! Bank Mandirinya," serunya. Aku terperangah. Ada kesegaran yang terasa menyergap masuk ke dalam relung hatiku.

"Mana? Mana?" ujarku tak sabar melongokkan kepalaku keluar. Begitupula syekh yang keras kepala itu memalingkan kepalanya kesana kemari. Namun, tak ada yang kulihat, kecuali si penarik becak hanya menunjuk ke arah baleho raksasa yang bertuliskan "Bank Mandiri ONH Plus". Aku tak tahu siapakah yang paling bodoh dalam hal ini???
***

Aku menghempaskan tubuhku kursi sofa di sebuah ruangan kerja dosen. Hembusan AC diruangan itu langsung menyergap hawa kesejukan disekujur tubuhku. Hawa panas yang meradang pun berangsur hilang. Namun, kekesalanku yang kualami semenjak dari pagi sampai siang ini, masih terasa bercokol di dadaku.

"Pak! Saya minta berhenti saja melayani dosen Mesir itu!"

"Kenapa, Mif? Ceritakanlah!" Seorang bapak berpenampilan rapi sedang sibuk bekerja dengan penanya di atas meja kerjanya. Bapak itu lebih akrab kupanggil Pak Ghazali, seorang dosen senior yang pada usia relatif muda sudah menempati jabatan prestise, yaitu ketua Unit Pelatihan Bahasa di kampus hijau itu.

Aku pun menceritakan pengalamanku yang menyebalkan bersama Syekh Mesir itu, semenjak kali pertama aku berkenalan sampai kejadian siang tadi.

"Sabar aja dulu! Baru satu hari menghadapi orang Mesir sudah menyerah, gimana apalagi sudah tinggal bertahun-tahun bersama mereka di Mesir nanti?" Jawab Pak Ghazali santai. Kupikir-pikir ada benar juga dari perkataan Pak Ghazali ini. Yach, paling tidak aku banyak belajar dari sifat orang Mesir sesungguhnya, sebelum aku tinggal dan bergaul langsung dengan komunitas mereka kelak. Aku menghela nafas panjang.

"Lantas bagaimana dengan Syekh Ismail, apakah beliau jadi kamu antar ke Bank Mandiri? Pak Ghazali membuyarkan lamunanku.

"Sesampai di depan pintu gerbang tadi, saya suruh tukang ojek untuk mengantarkan ke bank yang beliau inginkan," sahutku santai.

"Apa?" Pak Ghazali tersentak kaget. "Kenapa kamu biarkan beliau sendirian?" Apalagi beliau baru satu hari disini dan tidak mengenal kota ini sama sekali. Bahasa Indonesia pun tak mengerti satu kata pun? Bagaimana kalau beliau tersesat atau hilang, siapa yang akan bertanggung jawab? Tentu kamu yang akan disalahkan! Aku dan bapak Abdurrahim sebagai penanggung jawab, dan kita semua akan dituding telah menelantarkan syekh Ismail!" Kontan Pak Ghazali berdiri dan menghempaskan penanya.

"Insya Allah, Pak! Bapak tenang saja, saya jamin tidak akan terjadi apa-apa! Tadi sebelum saya melepas Syekh Ismail, saya sudah berpesan kepada tukang ojek itu agar mengantarkan beliau kembali ke kampus ini."

"Semoga saja, tidak terjadi apa-apa!" sahut Pak Ghazali lirih.
***

Hari senin. Mentari pagi kembali menyapa dengan semburat secercah senyuman yang cerah penuh gairah. Tepat pukul 08.00 wita, semua mahasiswa-mahasiswi baru yang mengikuti pelatihan bahasa Arab sudah masuk ke dalam ruangan. Sudah menjadi kewajiban bagi para mahasiswa baru untuk mengikuti pelatihan bahasa Arab selama satu semester setiap paginya. Dan pada semester berikutnya mereka juga wajib mengikuti pelatihan bahasa Inggeris. Keduanya merupakan mata kuliah wajib yang masing-masingnya dihargai 6 sks.

Dari kejauahan aku melihat Syekh Ismail sedang menaiki anak tangga menuju ke ruangan tingkat dua di bangunan Inggeris Apartement. Tampaknya beliau dijadwalkan untuk mengajar di ruangan sana. Aku pun mengejar setengah berlari.

"Ya Syekh! Tunggu sebentar!" Seorang yang bertubuh jangkung itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah ku. Ia urungkan langkahnya untuk menaiki anak tangga berikutnya. Seperti hari-hari kemarin mimik wajahnya susah sekali untuk mengembang. Wajah muramnya membuat guratan-guratan kerutan diwajahnya semakin tampak jelas pahatan reliefnya.

"Qul Assalamu'alaikum!" Perintahnya. Kalimat itu merupakan pengingat bahwa ketika aku berhadapan dengan beliau harus mengucapkan salam terlebih dahulu.

"Assalamu'aikum, Syekh?"
"Wa'alaikum salam!" sahutnya singkat.

"Aina ibriq?" Sebuah kata pertanyaan yang pertama kali terlontar dari mulut syekh Ismail yang serta merta menghenyakkan dadaku.

"Apa maksud, Syekh?" Aku mengerinyatkan dahiku.
"Dimana kamu simpan teko yang kubeli kemarin?" Syekh Ismail menatapku mataku tajam penuh curiga.

"Bukankah teko itu syekh sendiri yang pegang? Bukankah ketika kita sampai di pintu gerbang, syekh sendiri yang membawa kembali barang-barang yang syekh beli di pasar kemarin?"

"Cttttt…Cttttt!" Terdengar suara berdecit-decit, disertai jari telunjuk yang digoyang-goyangkan sebagai pertanda bahwa begitulah cara orang Mesir untuk menyatakan penolakannya. Sebuah gaya yang menyebalkanku sampai saat ini. Syekh Ismail kembali berserikeras bahwa akulah yang menyebabkan hilangnya teko yang ia beli bersamaku kemarin. Sebuah penyakit egoisma yang sudah sangat akut.


Aku terdiam sejenak. Kali ini aku tidak ingin dilecehkan dan diperlakukan seenaknya saja. Dan hal yang paling tidak kuinginkan aalah mempertaruhkan nilai harga diriku hanya lantaran sebuah teko kecil yang tak bernilai sama sekali. "Dengar syekh, baik-baik! Saya tidak mungkin menyembunyikan atau mencuri hanya sebuah teko kecil yang tak berharga itu. Jika memang teko itu hilang, maka saya bersedia untuk menggantinya." Aku meninggikan nada suaraku.

Dan Syekh Ismail pun berlalu begitu saja meninggalkanku.

Keesokan harinya, barulah kudengar berita bahwa teko tersebut memang benar-benar tertinggal di toko saat kami terlupa membawanya. Dan peristiwa itu berlalu begitu saja. Berita keegoisan dan sikap keras kepala syekh Ismail sudah menyebar luas di lingkungan kampus itu. Tak hanya satu dua orang dosen yang pernah adu mulut dengann beliau hanya permasalahan sepele, bahkan mahasiswa yang baru belajar bahasa Arab pun menjadi sasaran kemarahan beliau, ketika tak mampu menjawab pertanyaan yang beliau lontarkan.
***

Tak terasa sudah beberapa bulan aku menemani syekh Ismail yang keras kepala dan menyebalkan itu. Aku lebih akrab dengan keras kepalanya dibandingkan dengan orangnya. Kadang berminggu-minggu aku tak jenguk, lantaran bosan dengan tingkah laku beliau yang selalu minta dipenuhi segala keinganannya, namun terkadang aku juga merasa kasihan.

Sampai suatu hari, beliau minta aku untuk mengantarkan beliau menjenguk salah satu dosen yang sedang sakit. Pak Isa Anshari termasuk salah satu dosen senior yang cukup banyak membantu dengan keperluan syekh Ismail selama di Banjarmasin ini. Dengan kendaraan roa dua FZ R merah syakh Ismail kubonceng dibelakang. Tak berapa lama, tiba-tiba huja gerimis turun. Aku memilih untuk berteduh di salah satu kedai penjual bubur kacang di pinggir jalan.

Waktu kami masuk ke warung itu, kontan saja para pelanggan yang berada disana tercengang kebingungan. Kehadiran Syekh Ismail yang bertampang Arab dan memakai gamis panjang mengesankan bahwa beliau seorang habib. Habib atau syarif sebutan bagi seorang zuriat nabi Muhammad Saw. Dan bagi masyarakat Banjar, habib dianggap sebagai orang yang harus dimuliakan dan dihormati. Tak ayal, beberapa pelanggan menyingkir untuk memberikan tempat agar syekh Ismail bisa duduk dan terhindar dari tempias air hujan.

"Mau apa?" Tanya Bibi penjaga kedai itu.
"Minta teh hangat sama bubur kacangnya aja,Bi," ujarku.

Disaat menunggu hujan gerimis benar-benar reda, semangkok bubur kacang cukup untuk menghangatkan badan. Begitupula dengan syekh Ismail tampaknya sangat menikmati sekali teh hangat itu.

Ditengah keasyikan menikmati bubur kacang hangat di warung itu, tiba-tiba bibi penjual bubur kacang itu mendekatiku dan bertanya?

"Maaf, Dik! Kalau boleh tahu, siapa orang Arab yang disamping adik itu? Habib yach?" ujarnya berisik-bisik sesekali melirik ke arah syekh Ismail.

Aku katakana bahwa beliau adalah seorang dosen yang datang dari Mesir untuk mengajar di IAIN Antasari, dan baru datang beberapa bulan yang lalu.

"Wah, adak ini pasti pinter bahasa Arabnya, sehingga bisa menjadi penterjemah orang Arab?" ujar bibi itu polos.

Aku hanya tersenyum simpul. "Ah ibu bisa aja! Saya masih belajar bu, tidak hebat-hebat amat!"

"Adek sudah punya pacar atau sudah punya calon pendamping?" Tanya bibi itu lagi.
"Pacar?" aku tersentak kaget dengan pertanyaan bibi itu. Baru pertama kali dalam hidupku seorang bibi-bibi melontarkan pertanyaan seperti itu. "Belum. Emang kenapa, Bi? Aku mengerinyatkan dahiku keheranan.

"Mau nggak jadi menantu Bibi?"

"Haaa!" Aku tersentak lebih kaget. Cepat-cepat aku mengubah mimik wajahku agar si Bibi tidak tersinggung. Aku hanya mengembangkan senyuman yang dibuat-buat agar terlebih lebih manis.

Gerimis reda. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan. Ditengah perjalanan, syekh Ismail bertanya kepadaku secara berbisik. "Apa yang kamu bicarakan tadi dengan penjaga warung tadi?"

Aku teringat bahwa beberapa minggu-minggu terakhir ini, syekh Ismail seringkali mengatakan bahwa ia ingin sekali dinikahkan dengan perempuan Banjar. Aku pun mengatakan sembari bercanda bahwa Bibi di warung tadi tertarik kepada beliau dan bersedia diajak menikah. Demi mendengar penjelasan itu, sepanjang jalan beliau senantiasa tersenyum-senyum sendiri. Dasar orang Mesir!"

Sejak peristiwa itu, aku sudah jarang menemui syekh Ismail, hingga aku berangkat ke Mesir. Tak terasa setelah dua tahun aku meninggalkan beliau ke Mesir dan kembali ke Banjarmasin, aku sudah tidak mendapati beliau lagi. Kabar terakhir yang aku dengar bahwa syekh Ismail itu sudah pulang meninggalkan Banjarmasin sebelum tiba masa tugasnya, dan kembali ke Daqahlia, Manshurah salah kota di provinsi di Mesir. Dan sampai sekarang aku masih belum pernah bertemu dengan beliau.

Semua keganjilan dari sikap syekh Ismail itu, baru akan tersingkap sepenuhnya setelah aku berada di Mesir. Masih banyak pengalaman yang lebih unik dan menarik manakala aku berada di negeri asalnya. Penasaran? Ikuti Serial Keunikan Negeri Kinanah pada episode-episode berikutnya. Tunggu kisah-kisah selanjutnya berpetualang di negeri seribu menara sambil merapung bersama sungai Nil.




Cairo, 10-Oktober 2009
Pukul: 10.35 WK.

6 komentar:

  1. Membaca kisah ini membuat aku tertawa, ternyata perlu kesabaran untuk memahami watak orang Mesir. Buat jadi buku dong, insyaAllah aku beli deh, hehe...novel berbasis true story pasti lebih hidup.

    BalasHapus
  2. Lucu tapi mengesankan, Ustadz Miftah hebat tuh bisa "menyantuni" dua karakter orang Mesir yg saling bertolak belakang,terutama Syekh Ismail yg...woww kyk "marmut" kale..(astagfirullah!!) hehehe...
    "Diplomasi ala bunglon" nya boleh juga kita jiplak ...hiks.
    Ustadz, kabarnya lagi nulis novel "Pinangan dr Langit" kpn Launchingnya? Kabar2 ya! Pasti seru!
    Semoga sukses ya, barakAllah fiik Ust.

    BalasHapus
  3. ternyata sekarang baru dimengerti. kenapa syeik ismail begitu pelit???tentu tahu jawabanya ustdz miftah.

    jangan pernah liat seorang dari luarnya tapi dari hatinya,,, tidak semua orang sama sifatnya seperti itu,,

    sabar dan ikhlas kunci dari cerita itu..
    top Markotop

    Wieny Febrina ^_^,

    BalasHapus
  4. aq skrg sedang berhubungan dengan orang mesir, dan diaa berniat ingin mengkitbahku. apa yang harus saya lakukan, ya pak miftah... galau bangeet

    BalasHapus
  5. Gmn cara dpt beasiswa ke mesir?

    BalasHapus