Selasa, 20 Oktober 2009

Dialektika Takdir (Analogi Banteng, Keledai & Pemburu) Serial Kritik Sastra


Dialektika Takdir
Analogi Banteng, Keledai & Pemburu
(Menyelami Konsep Pemikiran Abu Zhuaib Tentang Takdir)
Sasaran pembaca : Penikmat sastra dan filsafat.
Penulis : Miftahur Rahman el-Banjary
(Cerpenis & Mahasiswa S.2 Sastra Arab di Univ. Dual Arabiyyah, Cairo-Meir)

Takdir adalah pembahasan ontologis yang sangat rumit, baik dalam kajian ilmu filsafat maupun ilmu teologi (ilmu kalam). Kali ini penulis tidak memaparkan pembahasan takdir dari persepsi kajian-kajian ilmu tersebut, namun penulis akan memaparkan fenomena takdir dari persepsi kesusteraan Arab klasik pra Islam atau yang lebih dikenal dengan syair-syair Arab jahily dalam bingkai serial kajian kritik sastra Arab.

Sejatinya materi ini adalah salah satu materi inti untuk mencapai gelar master sastra Arab di Universitas Dual Arabiyyah, Cairo . Dengan alasan tersebut di atas, memang tak mudah mudah bagi penulis untuk membuat artikel ini mudah untuk dipahami semua orang. Namun, penulis tetap berusaha agar para pembaca dapat memahami essensi pemikiran yang terkandung di dalamnya, kendatipun masih jauh dari kesempurnaan.

Bagi para kalangan pengkaji sastra Arab, nama Abu Zhuaib tampaknya tidak asing lagi. Abu Zhuaib adalah seorang pujangga Arab pada masa jahiliyyah dan masuk Islam pada peristiwa Fath al-Makah. Pada masa khalifah Umar Ibn Khatab beliau ikut peperangan dalam misi penaklukan Afrika dan wafat sebagai syuhada pada tahun 26 H. Syair masyhurnya yang berjudul 'ainiyyah' menjadi topik kajian sentral kesusteraan Arab semenjak abad pertengahan sampai sekarang, baik di dunia Arab sendiri maupun di Barat. Kepiawaian Abu Zhuaib dalam bersyair tidak diragukan lagi, hal ini diakui oleh para pujangga Arab sezamannya ataupun sesudahnya. Cukuplah diantaranya, Abu Hasan Ibn Tsabit pernah mengatakan bahwasanya para pujangga yang paling piawai adalah para pujangga dari kalangan kabilah Hudzail dan yang paling piawai diantara mereka adalah Abu Zhuaib.

Betapa sedihnya seorang Abu Zhuaib sebagai seorang ayah yang ditimpa musibah secara bertubi-tubi. Pada tahun yang sama kelima anaknya meninggal dunia akibat penyakit menular. Kesedihan itulah yang membuatnya tersiksa dan menyebabkan badannya semakin kurus, hingga hanya kulitnya sajalah yang membungkus tulang belulang. Dipuncak kesedihannya ia meratap dan menulisakan bait syair yang indah:

أمن المنون وريبها تتوجع # و الدهر ليس بمعتب من يجزع
Kematian dan ancamannya selalu menyebabkan penderitaan
Dan waktu tak pernah bosan untuk menimpakan kesedihan

Takdir dalam hal ini adalah kematian yang senantiasa mencengkeram. Kekuatan manusia tak sedikitpun mampu menghindarkan dari ancaman maut yang mengerikan. Ketika pena takdir sudah digoreskan, palu hakim t'lah dijatuhkan, maka hukum kausalitas tak akan bermakna, dan usaha manusia hanya akan sia-sia. Begitupula dengan perihalnya Abu Zhuaib, dia telah mendatangkan para tabib, menggunakan ratusan penangkal serta mengerahkan kekuatan dan kecerdasan, namun anak panah takdir yang sudah dilepaskan dari busurnya tak akan pernah meleset dari sasaran. Terkait hal ini ia mengatakan :

ولقد حرصت بأن أدفع عنهم # فإذا المنية أقبلت لا تدفع
و إذا المنية انشبت أظفارها# ألقيت كل تميمة لا تنفع
Aku t'lah berusaha menghindari takdir (kematian)
Bila kematian itu datang menjemput, aku tak akan mampu menghindar
Ketika kematian menancapkan kukunya
Semua penangkal yang digunakan tak memberi manfaat.

Kematian menurut Abu Zhuaib adalah bagian dari takdir yang tak seorang pun mampu menghindar dari incarannya. Mata kematian selalu mengintai setiap saat, sebagaimana seorang pemburu yang sedang mengintai binatang buruan dengan tombak terhunus yang siap ditancapkan. Bahkan, si pemburu mempunyai anjing terlatih yang siap menerkam, sebagaimana yang ia katakan dalam syairnya:

و الدهر لا يبقى على حدثانه # شبب أفزته الكلاب مروّع
Tidak ada yang tersisa dari waktu
Melainkan seorang pemburu (kematian) selalu mengintai dengan anjingnya.

Manusia adalah obyek buruan takdir. Dalam hal ini Abu Zhuaib menganalogikan manusia dengan sifat tsaur (banteng) dan himar (keledai). Banteng sebagai simbol kekuatan, kekayaan, kekuasaan dan kecerdasan. Sehingga dengan kegesitan dan kelincahan banteng berlari, kekuatan serta tanduk runcing yang ia miliki, ia mampu menghindar dari incaran si pemburu. Sedangkan penyifatan keledai sebagai simbol kepasrahan dan kesabaran. Keledai binatang yang lemah yang selalu pasrah dengan keadaan. Dengan kelemahan yang ia miliki ia cenderung menunggu sampai ajal datang menghampirinya.

Dengan pengertian sederhana, dalam menghadapi takdir manusia terbagi menjadi dua. Ada yang bersifat seperti banteng, dan ada pula yang bersifat seperti keledai. Manusia yang bersifat seperti banteng selalu optimis, tak pantang menyerah, dan selalu berusaha untuk mempertahankan hidupnya dengan mengerahkan kekuatan dan kecerdasan yang ia miliki. Bahkan, ia tak segan-segan mempergunakan tanduk kekuasaannya untuk bertarung pada saat ia tak mampu lagi untuk menghindar.

Sedangkan manusia berkarakter keledai lebih pasif dan pesimis. Tak ada usaha yang ia lakukan untuk menghindar dari takdir, sebab ia menyadari bahwa menghindar atau tidak sekalipun hasilnya hanya akan sia-sia belaka. Ia cenderung diam menunggu, sampai ajal menghampirinya. Inilah yang kemudian menjadikan manusia yang bersifat keledai akan selalu gagal dalam mengarungi bahtera kehidupan dan mati sebelum waktunya. Terkait hal ini Abu Zhuaib menggambarkan keledai dengan syairnya :

و الدهر لا يبقى على حدثانه # جون السراة له جدائد أربع

Kendatipun banteng mempunyai kekuatan, kegesitan, dan senjata untuk bertarung dengan si pemburu, namun ia tetap merasa was-was dengan ancaman yang senantiasa mengintai disetiap saat. Ia menjadikan semak belukar dan gua sebagai tempat berlindung yang paling aman. Jubah malam yang gelap gulita ia jadikan sebagai tirai pelindung dari endusan si anjing pemburu. Tapi bukan berarti dengan usaha perlindungannya tersebut, membuatnya benar-benar aman. Ia masih khawatir sekiranya si pemburu telah mempersiapkan perangkap dan jebakan, bahkan menikamnya dari arah yang ia tidak sadari dari balik tirai-tirai kegelapan. Kecemasan itu baru berangsur hilang seiring dengan datangnya cahaya sang fajar menyinari alam. Dengan tenangnya ia muncul dari balik semak-semak belantara untuk kembali menghirup nafas kehidupan. Sebagaimana yang ia katakan di dalam syairnya :

شعف الكلاب الضاريات فؤاده # فإذا يرى الصبح المصدق يفزع
Banteng itu diliputi ketakutan akan ancaman anjing si pemburu# Dan apabila fajar t'lah tiba barulah banteng itu muncul dari persembunyiannya.

Akhir dari cerita perburuan ini, banteng dan keledai pun tak luput dari kematian. Pergulatan banteng dan keledai dengan si pemburu dan anjingnya merupakan simbol pergulatan antara usaha manusia mempertahankan kehidupan dari kematian yang senantiasa mencengkeram. Kendatipun, banteng dan keledai keduanya sama-sama meregang nyawa di ujung tombak si pemburu. Namun, kematian keledai tak lebih dari pecundang, dan kematian banteng dianggap sebagai pejuang.

Manusia dengan segala kekuatan dan kecerdasan akal pikirannya tak pernah luput dari jerat takdir dan cengkraman maut. Kendatipun tak akan ada perubahan dari takdir yang telah ditetapkan, namun takdir itu bisa ditangguhkan. Usaha dan ikhtiar harus tetap dilakukan. Tawakal dan doa harus tetap dipanjatkan. Semua manusia akan mati, sebab kematian adalah keniscayaan yang membuat manusia lebih abadi. Oleh karena itulah, pilihlah hidup mulia dan mati sebagai syuhada…

Sekian.

Di tengah kesenyapan malam di pinggiran kota Cairo ,
Imam Madrasah, Nasr City .
Cairo, 18 Okt 2009
Pukul 01.20 PM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar