Jumat, 23 Oktober 2009

Selasa, 20 Oktober 2009

Sepasang Mata Bola Bernilai Surga (Karyaku tahun 2008-2009)



Penulis : Miftahur Rahman el-Banjary*
(Cerpenis & Mahasiswa Sastra Univ. Dual Arabiyyah Cairo)

Pagi itu, pasar Khan Khalili ramai dipenuhi para kafilah dan pedagang dari berbagai penjuru negeri. Sejak dinasti Fathimiyah berkuasa, pasar itu menjadi sentral utama bertemunya para pedagang di jazirah Arab. Semakin tinggi matahari merangkak, semakin ramai pula para pengunjung pasar. Di kawasan pasar yang dikelilingi tembok beton yang kukuh itulah para pedagang membentangkan tenda berwarna-warni menyerupai sebuah atap, dinding-dindingnyanya dibuat bersekat-sekat sedemikian rupa, tikar-tikar dagangan pun digelar, sehingga sekilas tenda-tenda tersebut tampak seperti toko, atau tepatnya lebih mirip seperti stand-stand pameran.

Para pedagang saling beradu mengencangkan urat lehernya demi menarik perhatian pembeli, jadilah pasar itu membentuk suara kegaduhan bergemuruh, bak suara ombak yang mendesau-desau diterjang badai. Diantara para pengunjung pasar itu, tampak seorang pemuda ikut bergerombol bersama sekerumun pengunjung pasar. Pemuda itu bernama Baraq. Dia seorang pemuda yang shaleh. Sepanjang hari ia disibukkan dengan beribadah di mesjid. Kendatipun usianya relatif muda, namun masyarakat menghormatinya sebagai seorang yang wara’ dan tawadhu. Sesuai dengan namanya; Baraq yang berarti halilintar. Bila dia melantunkan senandung al-Qur'an, maka suaranya menggelegar menggoncang jiwa-jiwa yang keras sekeras batu cadas sekalipun, berubah menjadi lembut selembut kapas.

Seperti biasa ia ke pergi ke pasar untuk menemui Sulaiman, sahabatnya yang berprofesi sebagai pedagang buah. Demi melihat kedatangan Baraq, Sulaiman pun menyambutnya dengan hangat. "Ahlan wa sahlan wa marhaban bik, ya Akhi! Sebagaimana dua orang saudara yang lama tidak berjumpa, keduanya melepas kerinduan dengan saling berpelukan. Setelah lama berbincang-bincang, akhirnya Sulaiman pun mengungkapkan keinginannya untuk menitipkan barang dagangan miliknya kepada sahabatnya itu, karena ia akan pulang menjenguk ibunya yang sedang sakit di desa. Dan tak ada alasan bagi Baraq untuk menolak permintaan sahabat karibnya itu.

Bercinta dengan Sungai Nil (Cerpenku thn. 2008)



Karya :Miftahur Rahman el Banjary*
(Cerpenis & Mahasiswa S.2 sastra Arab di Univ. Dual Arabiyyah, Cairo)

Aku t’lah jatuh cinta kepada Nil, sebagaimana kecintaan orang Mesir terhadap
sungai yang t’lah memberikan sumber kehidupan kepada mereka. Aliran sungainya sama
persis aliran darahku. Luas sungainya menyerupai luasnya cintaku. Aku benar-benar terpesona
dengan kecantikannya. Terbuai dengan aura keindahannya. Ketenangan dan kejernihan
airnya adalah lukisan jiwa dan perasaanku. Bila malam hari tiba, kutatap pesona
kecantikannya yang terbias pantulan kerlipan cahaya-cahaya lampu itu, hingga
bayangannya pun hadir menjelma dengan semburat senyum kebahagian. Namun, bila
kucoba tuk memeluknya, dia pun menghilang ditelan kegelapan malam.

Mengukir Kesan Bersama Orang Mesir (Sebuah Kisah Nyata) Bag. I


Karya : Miftahur Rahman el-Banjary*
(Cerpenis, Mahasiswa Sastra di Univ.Dual Arabiyyah, Cairo)

Jauh sebelum aku menginjakkan kakiku di negeri Anbiya ini, aku sudah pernah bergaul secara langsung dengan orang Mesir. Dari pengalaman itulah, secara tidak langsung aku banyak belajar tentang karakter dan tabiat mereka, sehingga ketika takdir menggoreskan bahwa aku harus menjalani kehidupan di negeri Sungai Nil ini, tak terasa begitu sulit bagiku menghadapi karakter mereka yang sesungguhnya.

Persis sebagaimana yang pernah digambarkan oleh kang Abik alias Habiburrahman el-Shirazy di dalam novel "Ayat-Ayat Cinta"-nya, bahwa secara umum karakter dan tabiat orang Mesir, ada yang berwatak lembut, penyantun, dan ramah sebagai pencitraan terhadap warisan karakter nabi Musa serta nabi Yusuf as, dan sebaliknya ada pula yang berwatak kasar, menyebalkan, dan keras kepala layaknya sifat Fir'aun. Pengalaman inilah yang kemudian aku tuliskan menjadi sebuah cerita pendek bergaya sastra, agar pembaca lebih mudah memahami alur ceritanya. Ada banyak pengalaman unik, konyol, sekaligus menggelitik di dalam ceritanya. Dan banyak pula serpihan hikmah dan pelajaran berserakan pada kisah ini yang dapat dijadikan tambahan wawasan bagi pembaca untuk memahami tabiat manusia dibelahan bumi sana. Semoga bermanfaat.

Penulis awali cerita ini dengan terlebih dahulu memperkenalkan dua tokoh orang Mesir. Tokoh pertama adalah Syekh Hafidz Muhammad Hafidz. Dan kedua adalah Syekh Ismail Toha Hasan. Keduanya adalah dosen utusan dari Universitas al-Azhar, Cairo yang bertugas mengajar di kampus IAIN Antasari, Banjarmasin. Dan keduanya pula memiliki sikap yang jauh berbeda, seorang menggambarkan sikap yang lembut dan ramah, sedangkan yang seorang lagi menggambarkan watak yang keras dan egois. Sebenarnya tidak adil, kalau penulis memvonis bahwa karakter dua tokoh ini adalah gambaran karakter orang Mesir secara keseluruhan, tapi paling tidak keduanya bisa menjadi miniatur karakter sebagian kecil dari orang Mesir, berdasarkan pengalaman realita yang penulis alami. Selamat menikmati!

Banjarmasin, di pertengahan bulan September 2005.
Menjelang satu hari sebelum datangnya bulan Ramadhan 1426 H, di sebuah rumah kost 'Escobar' yang aku tempati di kawasan Bina Brata itu tampak lengang. Usai shalat maghrib, tiba-tiba HP-ku berdering. Aku pencet salah satu tombolnya.
"Assalamu'alaikum?" Terdengar si penelpon memberi salam kepadaku terlebih dahulu.
"Wa'alaikum salam!" sahutku singkat.
"Ini benar Miftah?" Sebuah pertanyaan yang hanya cukup memerlukan jawaban, iya atau tidak!
"Iya, benar, Pak! Ada yang dapat saya bantu?"
"Saya Bapak Abdurrahim, Lc!" Tampaknya si penelpon tak lupa menyebutkan titelnya agar aku bisa langsung mengenalinya.
"Owh Bapak! Ada apa, Pak?"
"Begini, saya atas nama pihak rektorat meminta kesedian saudara untuk menjadi asisten pembantu dosen, Syekh yang baru datang dari Mesir itu. Apakah saudara bersedia?"
Aku terdiam sejenak.
"Apa tidak ditawarkan kepada yang lain dulu, Pak?"
"Tidak! Saya hanya mengharapkan saudara saja!"
"Kalo boleh tahu siapa nama Syekh yang baru datang itu, Pak?"
"Namanya Syekh Ismail bin Toha bin Hasan."

Tak berapa lama kemudian, sang penelpon kembali melanjutkan kata-katanya. Bagaimana dengan tawaran saya? Saya harap saudara Miftah bersedia menerimanya?" Sebuah pengharapan yang sulit untuk ditolak.
"Insya Allah, Pak! Saya hanya bisa membantu sekedar kemampuan saya."
"Kalau begitu, besok ba'da maghrib saya tunggu di mesjid kampus. Sementara permintaan ini saya sampaikan secara lisan saja dulu. Nanti soal surat rekemondasi dari rektorat akan segera menyusul. Ok!"
"Insya Allah, Pak!"
"Ma'assalam!" Klik!
***
Sebenarnya aku masih ragu dengan keputusanku untuk menjadi asisten pembantu Syekh dari Mesir itu. Aku harus mengambil keputusan delematis. Di satu sisi aku harus berkonsentrasi penuh dengan skripsiku, dan sisi lain kedatangan syekh yang baru ini merupakan kesempatan yang berharga bagiku untuk banyak belajar memahami tabiat orang Mesir dan budayanya, sebagai persiapan kelak ketika aku tinggal di negeri mereka.

Keinginan untuk melanjutkan studi S.2 ke Mesir sebenarnya sudah tertancap kuat semenjak aku dibangku Madrasah Tsanawiyah, tujuh tahun yang lalu. Dan keinginan itu baru terwujud semenjak aku berhasil lulus program beasiswa al-Azhar yang kuikuti beberapa bulan yang lalu. Tapi, bukan karena alasan bahwa sebentar lagi aku akan berangkat ke Mesir, sehingga Pak Abdurrahim memintaku untuk menjadi asisten pembantu syekh yang baru datang dari Mesir itu. Bukan itu alasannya, Kawan! Permintaan itu lebih tepatnya adalah sebuah nilai kepercayaan.

Jauh sebelum kedatangan Syekh yang baru ini, aku sudah akrab dengan seorang syekh muda yang juga utusan dari Universitas al-Azhar Mesir untuk mengajar di kampusku, IAIN Antasari Banjarmasin. Syekh muda itu bernama Syekh Hafidz Muhammad Hafidz, yang lebih akrabnya aku panggil dengan sebutan Syekh Hafidz. Beliau datang pada tahun 2003 yang lalu. Bagiku yang saat itu sangat tertarik sekali untuk memperdalam bahasa Arab, kedatangan dosen tersebut merupakan kesempatan emas untuk melatih kecapakan berbahasa dengan native speaker-nya secara langsung. Berawal dari motivasi itulah, aku mulai berkenalan dan akrab dengan beliau.

Hal yang paling kukagumi dari pribadi Syekh Hafidz adalah sikap yang santun, ramah, dan suka tersenyum. Selalu tampak ceria. Menyambut siapapun yang berkunjung dengan kehangatan. Tak pernah mengeluh. Lebih banyak memberi daripada menuntut. Terlebih kemulian akhlak itu berpadu dengan ketampanan wajah yang Allah karuniakan kepada beliau, sehingga tak salah bahwa nabi Yusuf as pernah dibesarkan dan tinggal di negeri itu. Suatu kelebihan yang tidak dimiliki oleh Negara Arab lainnya. Beliaulah orang Mesir yang pertama kali aku kenal yang kelak membawaku ke negeri sungai Nil ini. Kesan perkenalan itulah, akhirnya yang membentuk pencitraan dibenakku bahwa semua orang Mesir adalah baik seperti beliau.

Tak terasa dua tahun berlalu, Syekh Hafidz telah menyelesaikan masa tugasnya. Beliau dan dan keluarganya harus kembali ke Mesir. Kami pun harus berlapang dada melepas keberangkatan beliau. Dengan linangan dan deraian air mata kami melepas keberangkatan beliau sekelurga. Sejuta do'a dan harapan terajut semoga masih bisa dipertemukan kembali. Setelah aku tinggal di Mesir dan bergaul dengan kehidupan mereka sehari-hari, barulah aku menyadari bahwa Syekh Hafidz dan keluarganya merupakan orang Mesir terbaik yang pernah aku jumpai sepanjang hidupku.

Dan berselang enam bulan kemudian, semenjak kepulangan Syekh Hafidz dan keluarganya, aku mendengar berita bahwa tak akan berapa lama akan datang lagi pengganti Syekh Hafidz yang baru. Seorang dosen utusan dari Universitas al-Azhar juga. Aku berharap semoga pengganti yang baru ini lebih baik dari Syekh Hafidz, kendatipun sulit untuk mengatakan bahwa ada yang lebih baik daripada Syekh Hafidz, tapi paling tidak kebaikan dan kelebihannya bisa setara, sebab bagiku Syekh Hafidz merupakan sosok orang Mesir yang paling berkesan di hatiku.
***
Keesokan harinya, usai shalat maghrib aku bersama Pak Abdurrahim menuju rumah syekh yang baru tiba dari Mesir itu. Rumah yang disediakan untuk Syekh itu, adalah rumah dinas sederhana dilingkungan kampus yang pernah ditinggali oleh Syekh hafidz dan keluarganya.

Sesampai disana Pak Abdurrahim pun mengetuk pintu. Terdengar suara sahutan dari dalam rumah, "mîn?" Serta merta yang ditanya menyebutkan namanya. Korden disingkap dan daun pintu pun terbuka. Sang tuan rumah mempersilahkan kami masuk dan duduk.

Di dalam rumah yang pernah ditempati Syekh Hafidz dan keluarganya itu pun masih tampak berantakan dengan barang-barang peralatan yang baru dibeli. Maklumlah, semenjak ditinggalkan oleh Syekh Hafidz, rumah dinas tersebut tidak terurus lagi. Dan baru dibersihkan kembali seminggu, menjelang kedatangan Syekh baru itu.

Inilah untuk pertama kalinya aku berhadapan dengan sosok Syekh Mesir yang bernama Syekh Ismail itu. Orangnya tua, berperawakan kurus jangkung, dan berkulit sawo matang. Pak Abdurrahim pun memperkenalkanku sebagai asisten pembantu yang akan banyak membantu mengurusi keperluan beliau selama berada di Banjarmasin ini.

Aneh! Aku merasakan suatu penyikapan yang jauh berbeda syekh baru ini dibandingkan dengan Syekh Hafidz yang pernah aku kenal. Syekh baru ini terkesan pendiam dan hanya lebih banyak mengangguk. Bahkan, wajahnya tampaknya susah sekali untuk tersenyum. Dan penyambutannya pun dingin, tak bergairah. Namun, aku berusaha memakluminya, barangkali perjalanan yang melelahkan atau lingkungan asing yang baru membuat beliau perlu waktu untuk beradapatasi.

Keheningan dan kesunyian menepi. Suara detakan jarum jam lebih jelas terdengar daripada suara penghuni di rumah itu. Sesekali bunyi jangkrik saling bersahut-sahutan memecah keheningan malam. Suasana benar-benar terasa dingin dan membeku. Tak ada kata-kata basa-basi atau pertanyaan-pertanyaan lain yang terlontar dari mulut syekh baru itu, selain hanya basa-basi yang berulang kali mempersilahkan tamunya untuk mencicipi kue 'dunkin donat' yang masih tersisa beberapa buah di atas meja ruang tamu itu.

"Kul!" Ujar syekh yang bernama Syekh Ismail itu menyuruh tamunya untuk menikmati kue donat itu. Tangannya sedang asyik menyeduh teh celup sariwangi. Aku hanya menyunggingkan senyuman, laksana seekor kucing yang tampak sopan dihadapan tuannya.

"Kul!" kedua kalinya sang syekh menawarkan kue itu. Menanggapi tawaran itu, seketika aku teringat perkataan yang pernah diceritakan salah satu dosenku, bahwa hal yang paling membuat orang Mesir tersinggung adalah ketika menolak hidangan makanan yang mereka suguhkan. Sebenarnya aku tidak terlalu yakin dengan pendapat itu, terlebih lagi setahuku dosenku itu juga tidak pernah ke Mesir. Tapi, tak apalah jika aku mengunakan cara ini untuk mengambil hati orang Mesir ini. Inilah yang kemudian aku sebut dengan diplomasi politik ala bunglon, yaitu kemampuan menyesuaikan dengan lingkungan agar bisa menjadi bagian dari lingkungan tersebut. Akhirnya, aku pun mengambil sepotong kue donat tersebut. (Kalau disuguhkan makanan enak, tanpa folisofi bunglon pun aku tak akan menolak, hehe…).

Aku melirik ke arah Pak Abdurrahim disampingku. Beliau tampak serius membaca Koran dihadapannya. Perlu aku ceritakan bahwa orang yang bernama Pak Abdurrahim ini penampilannya layaknya seorang professor. Perawakannya gempal. Kepalanya botak, dan lebih suka memakai kacamata kecil yang dikaitkan di batang hidungnya. Jika membaca cukup melihat ke bawah dan jika menatap orang lain cukup mengintai dari balik kacamatanya. Sungguh unik! Penglihatan yang mempunyai multifungsi.

Kendatipun beliau diam seribu bahasa, namun aku bisa merasakan kegelisahan yang menyelimutinya, sesekali beliau menghela nafas panjang. Dari jidat beliau yang sudah licin sampai ke ubun-ubun, tampak keluar buliran keringat dingin. Barangkali beliau sedang memikirkan seribu satu cara untuk membuka pembungkam yang mengunci mulut si syekh baru ini agar mau diajak berbicara. Sedangkan aku hanya berpikir enjoy sambil menikmati kue donat yang lezat itu. Aku hanya berpikir, memang enak menjadi asisten dosen. Paling tidak, saat ini aku bisa merasakan kelezatan kue donat ini gratis, hehe…

Kali ini Syekh Ismail membuka bungkusan plastik kecil berwarna hitam, dan mengeluarkan beberapa biji mentimun. Krak! Tak ayal lagi, mentimun yang masih belum dikupas kulitnya itu digigit dengan kekuatan gigi taringnya. Bahkan, setahuku mentimun itu belum lagi sempat dicuci, tapi dengan lahapnya sang syekh itu menikmatinya.

"Kul!" Untuk kesekian kalinya, syekh itu memerintahkan tamunya untuk menyantap mentimun yang tersedia di atas meja tamu itu. Mata Syekh Ismail melirik mataku. Sorotan matanya mengisyaratkan agar aku segera mengambil mentimun itu, dan ikut memakannya. Semula aku ragu-ragu untuk mengambilnya. Keraguanku berangsur hilang, ketika kembali teringat perkataan dosenku yang pernah mengatakan bahwa orang Mesir bisa mendadak marah jika makanan yang ia hidangkan ditolak untuk dimakan. Tanpa ragu-ragu, aku mengambil potongan mentimun yang paling kecil.

Krak! Tanpa pikir panjang, akupun ikut mengerat mentimun itu dengan gigi taringku. Apakah mentimun itu sudah dikupas kulitnya atau belum, sudah dicuci bersih atau belum? Aku pun tak memperdulikan lagi hal itu. Paling tidak, aku berharap usahaku ini ampuh untuk menarik simpati orang Mesir ini. Inilah yang seperti kukatakan tadi, filosofi ala bonglun, hehe…

Aku kembali melirik ke arah Pak Abdurrahim. Beliau mengalihkan pandangan ke sudut langit-langit atap, seperti kucing yang sedang mengintai cecak. Barangkali dalam hatinya berkata, "rakus atau kelaparan yach anak ini, sehingga mau juga ikut-ikutan makan mentimun bersama si Arab ini, tanpa dikupas dan dicuci terlebih dahulu?"

Aku hanya menyunggingkan senyuman. Senyuman yang mengisyaratkan bahwa strategi yang kuambil ini adalah sebuah sikap diplomatis politis untuk menarik simpati, Pak! Dan salah satu sikap diplomatis itu bisa juga dilakukan dengan ikut makan mentimun mentah, tanpa kupas kulitnya, iya khan, Pak?

Suasana masih tetap membeku seperti sediakala. Pak Abdurrahim asyik membaca Koran. Aku mengikuti setiap perintah syekh baru itu. Dan syekh baru itu seakan asyik dengan santapan yang tergelatak di meja ruang tamu itu.

Kali ini tantangan yang aku hadapi lebih berat daripada tantangan-tantangan sebelumnya. Jika tantangan sebelumnya, hanya perintah makan kue donat yang lezat, makan mentimun mentah tanpa dikupas dan tanpa di cuci. Kali ini sang Syekh menyodorkan sebuah bungkusan plastik yang berisi beberapa batangan kecil wortel mentah.

"Kul!" Perintah terakhir yang terlontar dari mulut syekh baru itu. Aku mengerinyatkan keningku. Aku mencoba menatap polos wajah syekh tua itu, apakah wajahnya ada kemiripin dengan binatang pengerat, kelinci atau marmut? Dan hasilnya wajah beliau normal-normal saja, hehe…

Aku terdiam sejenak. Dan melirik ke wajah Bapak Abdurrahim. Wajah Abbdurrahim mengerucut menahan tawa. "Sekarang inikah yang kau namakan diplomasi politik ala bunglon anak muda?" Barangkali kata-kata itu yang ingin ia hembuskan kepadaku. Jika aku masih mempertahankan filosofi bunglon untuk mengambil simpati syekh muda ini, maka resikonya adalah mempertaruhkan gigiku bertarung dengan wortel yang keras. Bagaimana mungkin aku disuruh makan wortel mentah yang keadaannya persis dengan mentimun tadi. "Emangnya gue kelinci percobaan napa?" Inilah cerita malam pertama perkenalanku dengan Syekh Ismail yang tidak secara langsung telah melunturkan pencitraan bahwa semua orang Mesir berakhlak seperti Syekh Hafidz terdahulu. Dan akhirnya staregi bunglon yang kuyakini mengalami kegagalan, hehe…

Cerita ini hanyalah awal dari sebuah prolog, Kawan! Masih banyak lagi kekocolan-kekocolan yang aku alami bersama syekh Mesir ini. Mau kisah selanjutnya ikuti terus kisah ini…
***
Ketika berlalu pulang dari rumah itu, aku mendapatkan cerita baru lagi dari Pak Abdurrahim tentang cerita syekh Ismail itu. Cerita begini, kawan! Pada tengah malam, syekh Ismail pun tiba di Banjarmasin dan disambut beberapa orang dosen di bandara Syamsudin Noor, lalu langsung dijemput ke rumah dinas yang disediakan dilingkungan kampus, tepatnya bersebarangan dengan rumah dinas rektor.

Awal pertama kali turun dari mobil, syekh baru itu tampak kebingungan dengan kondisi tempat tinggal yang barangkali jauh dari dugaannya sebelumnya. Maklumlah, tempat tinggal yang disediakan pihak rektorat hanyalah sebuah rumah sederhana berukuran 8x 8 meter. Dan tentunya jauh dari mewah. Lama beliau berdiri mematung memandangi rumah mungil itu. Tampak ada penyesalan kenapa ia harus ditempatkan di rumah seperti ini?

Setelah berkali-kali diajak masuk ke dalam rumah, akhirnya syekh Mesir itu pun mau ikut masuk. Tanpa melepas sepatu terlebih dahulu, beliau langsung masuk ke dalam rumah dan meneliti setiap sudut ruangannya dengan seksama. Mulai dari kamar tidur, sampai kamar mandi. Maklumlah sejak ditinggalkan oleh Syekh Hafidz dan kelurganya, tak seorang pun yang mengurusi rumah itu, hingga banyak bagian dinding dan atapnya yang sudah rapuh.

Ditengah-tengah keasyikan menelisik setiap ruangan, tanpa diduga tiba-tiba muncullah seekor tikus yang sangat besar melintas di depan syekh Ismail dan tak ayal lagi, syekh Mesir itu sontak berteriak ketakutan. Dan bermula dari kejadian itulah, syekh Mesir itu menuntut untuk dicarikan seseorang untuk menjadi asisten pembantu pribadinya. Dan pilihan itu tertuju kepadaku. Sungguh kasihan, hiks..hiks..
***

Keesokan harinya, bertepatan dengan hari pertama awal bulan Ramadhan 1426 H, sesuai dengan perjanjian tadi malam, syekh Ismail memintaku untuk menemaninya berbelanja ke pasar. Tepat jam 10.00 pagi aku bergegas menuju rumahnya. Begitu sampai disana, aku dapati rumah beliau sudah terbuka. Aku ucapkan salam. Ternyata syekh itu sedang menerima tamu; seorang dosen yang baru berkunjung. Aku sempat berbasa-basi sebentar dengan dosen tersebut. Kuberitahukan bahwa Syekh Ismail mengajakku untuk berbelanja ke pasar untuk membeli barang-barang yang masih diperlukan. Sang dosen menyarankan untuk berbelanja ke pasar tradisional saja yang lebih dekat dengan kampus. Bahkan dosen itu menawarkan bantuan untuk ikut menemani.

Namun, tanpa banyak bicara syekh Ismail berdiri dan memakai kaos kaki. Mengeluarkan sepatu dan bersiap menutup pintu, sedangkan sang tamu masih duduk di sofa. Aku tercengang. Menurutku sikap beliau kali ini, benar-benar kurang sopan dan tak menampakkan sikap penghormatan kepada tamunya, dan lebih kepada sikap pengusiran secara tidak langsung. Tak ayal sang dosen pun tampak kikuk dan segera berdiri dan bergegas keluar dari rumah itu.

Aku menghela nafas panjang. "Beginikah sikap orang Mesir mengormati tamunya?" gumam batinku. Sebuah sikap yang sangat kontras sekali dengan sifat Syekh Hafidz yang terdahulu, apalagi dibandingkan dengan profesi beliau sebagai seorang dosen yang menyandang titel seorang 'syekh' yang berpengetahuan agama yang luas. Tak apalah, barangkali itu tabiat beliau. Aku tidak boleh terlalu cepat menghukumi orang lain secara subjektif, terlebih lagi mengatasnamakan sebagai bagian sifat orang Mesir. Aku berusaha memakluminya.

Syekh Ismail mengunci pagar rumah dan kami pun meningggalkan rumah. Pada mulanya kami berjalan bertiga, namun tiba-tiba Syekh Ismail berjalan mendahului kami. Aku mempercepat langkahku menyusul syekh Ismail. Tanpa kuduga dengan mimic yang kurang menyenangkan beliau bertanya kepadaku, "Kenapa orang itu mengikuti kita?" Matanya melirik ke belakang ke arah dosen yang muda itu.

Aku jelaskan bahwa orang itu salah satu dosen di kampus ini, dan beliau hanya ingin menemani berbelanja di pasar. Namun, syekh itu tampaknya memang tidak suka diikuti tanpa ada persetujuan darinya terlebih dahulu. Kami terus berjalan meninggalkan pintu gerbang 'kampus hijau' itu. Sang dosen yang merasa tidak diacuhkan oleh sang syekh merasa kikuk, dan menghilang entah kemana. Tinggallah kami berdua. Lantaran jarak pasar yang kami tempuh kurang lebih berjarak 500 m, aku lebih memilih untuk menaiki becak. Putaran demi putaran roda becak, akhirnya membawa kami tiba di pasar Pandu.

Sebagaimana lazimnya sebuah pasar tradisional, ratusan orang bahkan lebih memadati pasar. Suara pedagang yang menawarkan dagangannya dan penjual yang menawar bergemuruh bergumul menjadi satu. Demi melihat sesosok orang asing di pasar itu, beberapa bola mata terus menerus memperhatikan kami tak berkedip. Kehadiran syekh Ismail mengundang perhatian orang-orang di pasar itu. Namun, kami terus berjalan tanpa menghiraukan keheranan mereka. Dan tugas pertamaku di pasar ini adalah berperan sebagai penterjemah.

Syekh Ismail berhenti sebentar, dan mulai mengedarkan pandangannya. Lalu mengeluarkan secarik kertas yang berisi sederetan barang-barang yang ia perlukan. Dia mengangguk perlahan, dan kemudian memasukkannya kembali ke saku gamisnya. Matanya tertuju kepada sebuah toko yang menjual air mineral. Di depan toko tersebut berjejer galon-galon besar bertuliskan Aqua. Itulah toko pertama yang kami singgahi.

"Ada yang bisa dibantu?" Tanya pedagang itu ramah.
"Saya mau ini, tanyakan berapa harganya?" perintah syekh Ismail kepadaku, sembari menunjuk sebuah galon besar. Aku pun menanyakan harganya dengan penjualnya.

"Kalau air mineral dengan galonnya harganya Rp. 17.000, sedangkan kalau hanya isinya saja alias daur ulang harganya hanya Rp. Rp. 5.000 saja," ujar penjual itu menjelaskan. Aku pun kembali menterjemahkan penjelasan si penjual itu ke dalam bahasa Arab.

"Hmm…." syekh Ismail mengganguk perlahan. "Bilang sama penjualnya, kurangi separuh harga!" Perintah syekh Ismail kepadaku.

Gila! Mana ada penjual yang mau menjual barang kebutuhan setiap hari seperti itu dengan separuh harga. Bisa-bisa aku dianggap tidak waras oleh pedagang di pasar itu. Tugasku memang sebagai penterjemah yang menterjemahkan apa saja yang diinginkan oleh syekh Mesir ini, tapi soal menawar separuh harga dalam transaksi jual beli barang yang sudah lazim harganya di pasaran merupakan hal yang sama sekali tidak masuk akal. Tidak! Aku tidak akan melakukan perintah itu. Absurd!

"Maaf, Syekh! Disini barang-barang kebutuhan sudah dijual harga pas. Jika masih mau menawar juga tidak sampai separuh harga." Aku menjelaskan kepada syekh Ismail. Namun, penjelasanku hanya dianggap angin lalu saja. Sang syekh hanya berdecit "cccctttt", lengkap dengan jari telunjuk yang digoyangkan-goyangkan sebagai isyarat bahwa beliau tidak berkenan membeli barang itu.

"Laa!" Urîdu nisf, bas!" Saya hanya ingin separuh harga, titik!"

Aku menghela nafas panjang. Ku tak habis pikir dengan sikap syekh baru ini, apakah dia merasa terbodohi, ataukah memang tak mempunyai banyak uang. Untuk alasan yang kedua ini, rasanya sunguh tidak masuk akal, sebab mana mungkin dosen terbang dari luar negeri seperti beliau, tidak membawa uang sebagai awal persediaan menjalani kehidupan di kota Banjarmasin ini. Dan akhirnya, kami pun meninggalkan toko itu. Aku bisa menangkap sikap keheranan orang-orang disekitar pasar. Sesekali mereka terlihat berbisik-bisik, atau hanya sekedar melirik-melirik. Namun, kami terus berjalan mengitari pertokoan yang berjejer memanjang membentuk huruf U itu.

Berlalu dari toko pertama, Syekh Ismail mengajakku ke toko yang menjual alat-alat kelontongan. Sang penjual menyambut dengan senyuman. Senyuman yang dibuat-buat manis, demi menarik hati pelanggan. (Apalagi ini ada pembeli dari Arab, pasti banyak fulusnya, barangkali begitu pikirnya, hehe…)

"Ada yang bisa dibantu?" Tanya sang penjual. Aku hanya menyunggingkan senyuman, sebagai perwakilan dari senyuman sang syekh yang tampak susah sekali mengembangkan bibirnya. Sang syekh dengan seriusnya mengedarkan pandangan melihat-melihat susunan barang yang tersusun rapi di rak jualan. "Aiez dha!" Beliau menunjuk sebuah alat pembasmi nyamuk dan serangga. Sang penjual segera mengambilkan sebuah botol berwarna hijau yang bertuliskan di depan kalengnya "Baygon" jaminan mutu, ampuh membasmi nyamuk, serangga dan kecoa.

"Kam dha?" Tanya sang syekh menatap serius si penjual.
"Berapa harganya, Pak?" Aku bergegas menterjemahkan ke bahasa yang dipahami oleh si penjual.

"Seperti biasa, harganya Rp. 12.00 saja!"
"Itsna 'asyar alf," aku mentranslit kembali lagi ke syekh itu.
"Laa!" Urîdu nisf! Coba tawar separuh harga saja," ujar syekh Isamail menatapku serius.

Tampaknya apa yang ada dibenak beliau, semua barang harus ditawar separuh harga. Aku tak tahu siapa yang memberikan informasi keliru ini kepada syekh baru ini. Apa dikira pasar ini pasar obral, sehingga semua harga harus dibanting murah? Sungguh aku tak mengerti dengan cara berpikir orang Mesir ini. Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Kesal. Dongkol bercampur menjadi satu. Namun, aku tetap berusaha menyembunyikan kekesalanku. Dan dengan sabar menjelaskan bahwa lebih baik membelinya lain kali saja, daripada aku harus menebalkan wajahku.

"Apa beliau bilang, dik?" Tanya si penjual yang merasa penasaran dengan percakapan yang tidak ia mengerti sama sekali. Aku bisa pastikan jika ia mengetahui keinginan syekh itu ingin menawar harga barangnya separuh harga, aku yakin dia tak kalah dongkolnya dengan perasaanku saat ini.

"Nanti saja, Pak! Kami mau berbelanja barang-barang yang lain dulu," ujarku sambil kembali menyerahkan botol hijau itu. Dan tanpa banyak bicara aku berlalu meninggalkan toko itu. Bagaikan seekor anak ayam yang ditinggalkan induknya, mau tak mau Syekh Mesir itu terpaksa menguntitku dari belakang.

Tak ada satu barang pun yang kami beli, melainkan singgah dan berlalu begitu saja. Alasannya hanya si syekh tidak berkenan membeli apapun, tanpa mendapatkan potongan separuh harga. Hampir satu jam berlalu, kami hanya mendapatkan satu teko kecil saringan teh, seekor ayam pedaging, sekilo tepung terigu untuk membuat roti berserta obat pelembut adonannya. Aku tak habis pikir kenapa sang syekh ini sangat alot untuk mendapatkan harga semurah mungkin, jauh dari harga standar yang sebenarnya? Dan pertanyaan itu baru aku dapatkan ketika aku sudah berada di Mesir. Mau tau apa? Penasaran bukan? Ikuti cerita selanjutnya dibawah ini…
***
Matahari semakin merangkak tinggi ke pusat bubungan langit. Cahaya teriknya membakar ubun-ubun. Beberapa kali aku menyeka buliran keringatku yang mengucur deras. Kerongkonganku terasa mencekik. Aku sangat haus sekali, dan aku ingin mencari penjual minuman. Cepat-cepat aku teringat bahwa hari adalah hari pertama kali bulan Ramadhan. Matahari masih terasa membara, sebagaimana kedongkolan hatiku saat ini. Namun, aku tetap bersabar menghadapi syekh baru ini. Hari ini kesabaranku memang benar-benar sedang diuji. Inilah pertama kalinya aku mengenal sifat orang Mesir yang menyebalkan.

Usai berbelanja kami bersiap pulang. Aku mengajak syekh Ismail kembali menaiki becak. Sebelum naik becak beliau menyuruhku untuk menanyakan terlebih dahulu harganya.

"Berapa, Pak?" tanyaku kepadaku seorang penarik becak yang sudah terlampau tua. Dengan suara serak ia menjawab, "Terserah aja, kayak biasalah!"

Tanpa banyak komentar lagi, aku mengajaknya menaiki becak. Becak pun didorong dan kemudian dikayuh oleh empunya dengan kekuatan otot-ototnya yang menonjol sebagaimana urat-uratnya yang menyembul ke permukaan kulitnya. Becak berjalan lambat. Tampaknya penarik becak ini terlampau lanjut usia untuk sebuah pekerjaan yang berat seperti ini. Semangatnya mengalahkan staminanya. Semangat itu bernama tuntutan hidup untuk menafkahi anak dan istirnya. Dan roda becak pun menggelinding perlahan diatas jalan raya.

Ditengah perjalanan pulang, sang syekh kembali bertingkah. Dengan nada setengah berteriak, sang syekh berkali-kali mengatakan, "Al-ân Urîdu Mandîrî! Aku bisa memahami bahwa keinginan beliau selanjutnya adalah diantarkan ke Bank Mandiri untuk mengambil uang. Berkali-kali pula aku jelaskan bahwa bahwa hari ini adalah hari sabtu, yang berarti dimana-mana bank juga tutup. Namun, dia tetap berserikeras. Ngotot. Tak mau mengalah alias keras kepala. Syekh itu terus merengek seperti anak kecil yang meminta kepada ibunya agar dibelikan ice cream.

Aku sendiri juga sebenarnya tidak tahu dimana letak bank tersebut secara tepatnya. Akhirnya, aku terpaksa mengalah dan menuruti kehendaknya. "Pak! Pak! Bapak tahu Bank Mandiri nggak?" Tanyaku setengah berteriak kepada penarik becak itu.

"Oh disana! Di dekat Pal 5," sahutnya agak keras.

"Tolong antarkan kesana aja, Pak!"
"Iya!" Tanpa ada sahutan lain, becak terus berjalan.

Padahal hanya beberapa meter lagi, kami sudah tiba kembali di pintu gerbang IAIN. Jika meneruskan ke Pal 5, berarti paling tidak kami harus menempuh jarak kurang lebih 500 meter lagi, dan menambah ongkos tambahan. Tapi apalah, yang penting si Syekh Mesir ini tidak cerewet lagi. Dan ketika melewati pintu gerbang IAIN semula, becak pun terus berlalu.

Setiap pinggiran jalan aku cermati dengan seksama, tak ada satu pun bank yang dimaksud. Aku sempat berpikir juga, kenapa aku begitu yakin dengan jawaban bapak tukang becak ini bahwa disekitar kawasan Pal 5 ini berdiri sebuah bank, padahal aku hapal betul kawasan ini. Dan sepengetahuanku tidak ada satupun bank yang berdiri dikawasan ini. Aku cepat-cepat mengusir kegundahanku. "Siapa tahu ada bank yang tidak sempat aku perhatikan atau ada bank yang baru berdiri."

Roda tiga itu terus berputar menggelinding di atas aspal. Benar-benar tak ada tanda-tanda bahwa ada bank di kawasan ini. Syekh Mesir itu pun tak mau diam. Dia terus menerus mendesakku untuk kembali menanyakan kepada sang penarik becak.

"Coba tanyakan lagi, apakah disini betul ada Bank Mandiri," desak sang Syekh sok tahu.
"Kalau bank yang lain gimana, Syekh?"
"Laa! Urîdu Mandîrî! Bas!" Sebuah jawaban yang menyebalkan yang kudengar sejak berbelanja di pasar tadi.

"Bapak yakin disini ada bank?" Aku menyaringkan suaraku agar didengar jelas oleh bapak penarik becak itu. "Seingat saya kayaknya memang ada disekitar sini, tapi saya lupa juga dimana tepatnya," sahut si penarik becak sambil terus mengayuh becaknya.

Aku gelisah. Keringat semakin banyak bercucuran membasahi bajuku. "Ya udah, Pak! Kalau tidak ada kita kembali aja lagi ke IAIN," ujarku. Bapak penarik becak itu pun memutar haluan berbelok arah.

"Isma'! al-Ân Urîdu Mandîrî! Aina Mandiri, heh?" Dengar baik-baik! Saya perlu ke Bank sekarang! Dimana Bank Mandiri, heh?" Suaranya yang parau terasa menusuk-nusuk telingaku.

Aku berusaha cuek dan mengalihkan pandanganku. Aku tak perduli lagi dengan ocehannya. Sang Syekh itu marah-marah dan membentak-bentak kepadaku. Satu pertanyaannya yang bisa kutangkap syekh itu bertanya kepadaku, "Berapa ongkos becak kamu bayar?"

"Kesepakatan dari pasar ke IAIN 5.000 rupiah, dan untuk tambahan mencari bank ini paling tidak kita harus menambah 5.000 rupiah lagi."

"Sudah!" Tidak perlu dibayar!"
"Apa???" Aku terperanjat kaget.

Gila apa? Dikira bapak tukang becak ini malaikat apa, sehingga tak perlu dibayar sama sekali dari perasan keringatnya yang mengucur deras dan sengatan matahari yang meradang?

"Kenapa tidak bayar, Syekh?"

"Bukankah dari pertama kita sudah sepakat bahwa dia akan mengantarkan ke Bank Mandiri. Dan sekarang dia juga tidak tahu tempatnya. Dia pendusta! Jadi tak perlu kita bayar."

Aku muntab.

"Syekh ini bukan Mesir! Ini Indonesia! Kami punya budaya dan tata karma. Mana mungkin kita tak membayarnya, sedangkan bapak tukang becak ini sudah bersusah payah menolong kita! Apalagi penarik becak ini muslim, yang berarti dia juga berpuasa seperti kita. Tidak membayar ongkos becak ini, sama halnya kita mendzalimi saudara kita sendiri. Sudah kalau syekh tidak mau bayar, biar saya yang bayar!"

Syekh Ismail pun terdiam membisu. Tiba-tiba terdengar teriakan si tukang becak bersemangat. "Nah itu, Dik! Bank Mandirinya," serunya. Aku terperangah. Ada kesegaran yang terasa menyergap masuk ke dalam relung hatiku.

"Mana? Mana?" ujarku tak sabar melongokkan kepalaku keluar. Begitupula syekh yang keras kepala itu memalingkan kepalanya kesana kemari. Namun, tak ada yang kulihat, kecuali si penarik becak hanya menunjuk ke arah baleho raksasa yang bertuliskan "Bank Mandiri ONH Plus". Aku tak tahu siapakah yang paling bodoh dalam hal ini???
***

Aku menghempaskan tubuhku kursi sofa di sebuah ruangan kerja dosen. Hembusan AC diruangan itu langsung menyergap hawa kesejukan disekujur tubuhku. Hawa panas yang meradang pun berangsur hilang. Namun, kekesalanku yang kualami semenjak dari pagi sampai siang ini, masih terasa bercokol di dadaku.

"Pak! Saya minta berhenti saja melayani dosen Mesir itu!"

"Kenapa, Mif? Ceritakanlah!" Seorang bapak berpenampilan rapi sedang sibuk bekerja dengan penanya di atas meja kerjanya. Bapak itu lebih akrab kupanggil Pak Ghazali, seorang dosen senior yang pada usia relatif muda sudah menempati jabatan prestise, yaitu ketua Unit Pelatihan Bahasa di kampus hijau itu.

Aku pun menceritakan pengalamanku yang menyebalkan bersama Syekh Mesir itu, semenjak kali pertama aku berkenalan sampai kejadian siang tadi.

"Sabar aja dulu! Baru satu hari menghadapi orang Mesir sudah menyerah, gimana apalagi sudah tinggal bertahun-tahun bersama mereka di Mesir nanti?" Jawab Pak Ghazali santai. Kupikir-pikir ada benar juga dari perkataan Pak Ghazali ini. Yach, paling tidak aku banyak belajar dari sifat orang Mesir sesungguhnya, sebelum aku tinggal dan bergaul langsung dengan komunitas mereka kelak. Aku menghela nafas panjang.

"Lantas bagaimana dengan Syekh Ismail, apakah beliau jadi kamu antar ke Bank Mandiri? Pak Ghazali membuyarkan lamunanku.

"Sesampai di depan pintu gerbang tadi, saya suruh tukang ojek untuk mengantarkan ke bank yang beliau inginkan," sahutku santai.

"Apa?" Pak Ghazali tersentak kaget. "Kenapa kamu biarkan beliau sendirian?" Apalagi beliau baru satu hari disini dan tidak mengenal kota ini sama sekali. Bahasa Indonesia pun tak mengerti satu kata pun? Bagaimana kalau beliau tersesat atau hilang, siapa yang akan bertanggung jawab? Tentu kamu yang akan disalahkan! Aku dan bapak Abdurrahim sebagai penanggung jawab, dan kita semua akan dituding telah menelantarkan syekh Ismail!" Kontan Pak Ghazali berdiri dan menghempaskan penanya.

"Insya Allah, Pak! Bapak tenang saja, saya jamin tidak akan terjadi apa-apa! Tadi sebelum saya melepas Syekh Ismail, saya sudah berpesan kepada tukang ojek itu agar mengantarkan beliau kembali ke kampus ini."

"Semoga saja, tidak terjadi apa-apa!" sahut Pak Ghazali lirih.
***

Hari senin. Mentari pagi kembali menyapa dengan semburat secercah senyuman yang cerah penuh gairah. Tepat pukul 08.00 wita, semua mahasiswa-mahasiswi baru yang mengikuti pelatihan bahasa Arab sudah masuk ke dalam ruangan. Sudah menjadi kewajiban bagi para mahasiswa baru untuk mengikuti pelatihan bahasa Arab selama satu semester setiap paginya. Dan pada semester berikutnya mereka juga wajib mengikuti pelatihan bahasa Inggeris. Keduanya merupakan mata kuliah wajib yang masing-masingnya dihargai 6 sks.

Dari kejauahan aku melihat Syekh Ismail sedang menaiki anak tangga menuju ke ruangan tingkat dua di bangunan Inggeris Apartement. Tampaknya beliau dijadwalkan untuk mengajar di ruangan sana. Aku pun mengejar setengah berlari.

"Ya Syekh! Tunggu sebentar!" Seorang yang bertubuh jangkung itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah ku. Ia urungkan langkahnya untuk menaiki anak tangga berikutnya. Seperti hari-hari kemarin mimik wajahnya susah sekali untuk mengembang. Wajah muramnya membuat guratan-guratan kerutan diwajahnya semakin tampak jelas pahatan reliefnya.

"Qul Assalamu'alaikum!" Perintahnya. Kalimat itu merupakan pengingat bahwa ketika aku berhadapan dengan beliau harus mengucapkan salam terlebih dahulu.

"Assalamu'aikum, Syekh?"
"Wa'alaikum salam!" sahutnya singkat.

"Aina ibriq?" Sebuah kata pertanyaan yang pertama kali terlontar dari mulut syekh Ismail yang serta merta menghenyakkan dadaku.

"Apa maksud, Syekh?" Aku mengerinyatkan dahiku.
"Dimana kamu simpan teko yang kubeli kemarin?" Syekh Ismail menatapku mataku tajam penuh curiga.

"Bukankah teko itu syekh sendiri yang pegang? Bukankah ketika kita sampai di pintu gerbang, syekh sendiri yang membawa kembali barang-barang yang syekh beli di pasar kemarin?"

"Cttttt…Cttttt!" Terdengar suara berdecit-decit, disertai jari telunjuk yang digoyang-goyangkan sebagai pertanda bahwa begitulah cara orang Mesir untuk menyatakan penolakannya. Sebuah gaya yang menyebalkanku sampai saat ini. Syekh Ismail kembali berserikeras bahwa akulah yang menyebabkan hilangnya teko yang ia beli bersamaku kemarin. Sebuah penyakit egoisma yang sudah sangat akut.


Aku terdiam sejenak. Kali ini aku tidak ingin dilecehkan dan diperlakukan seenaknya saja. Dan hal yang paling tidak kuinginkan aalah mempertaruhkan nilai harga diriku hanya lantaran sebuah teko kecil yang tak bernilai sama sekali. "Dengar syekh, baik-baik! Saya tidak mungkin menyembunyikan atau mencuri hanya sebuah teko kecil yang tak berharga itu. Jika memang teko itu hilang, maka saya bersedia untuk menggantinya." Aku meninggikan nada suaraku.

Dan Syekh Ismail pun berlalu begitu saja meninggalkanku.

Keesokan harinya, barulah kudengar berita bahwa teko tersebut memang benar-benar tertinggal di toko saat kami terlupa membawanya. Dan peristiwa itu berlalu begitu saja. Berita keegoisan dan sikap keras kepala syekh Ismail sudah menyebar luas di lingkungan kampus itu. Tak hanya satu dua orang dosen yang pernah adu mulut dengann beliau hanya permasalahan sepele, bahkan mahasiswa yang baru belajar bahasa Arab pun menjadi sasaran kemarahan beliau, ketika tak mampu menjawab pertanyaan yang beliau lontarkan.
***

Tak terasa sudah beberapa bulan aku menemani syekh Ismail yang keras kepala dan menyebalkan itu. Aku lebih akrab dengan keras kepalanya dibandingkan dengan orangnya. Kadang berminggu-minggu aku tak jenguk, lantaran bosan dengan tingkah laku beliau yang selalu minta dipenuhi segala keinganannya, namun terkadang aku juga merasa kasihan.

Sampai suatu hari, beliau minta aku untuk mengantarkan beliau menjenguk salah satu dosen yang sedang sakit. Pak Isa Anshari termasuk salah satu dosen senior yang cukup banyak membantu dengan keperluan syekh Ismail selama di Banjarmasin ini. Dengan kendaraan roa dua FZ R merah syakh Ismail kubonceng dibelakang. Tak berapa lama, tiba-tiba huja gerimis turun. Aku memilih untuk berteduh di salah satu kedai penjual bubur kacang di pinggir jalan.

Waktu kami masuk ke warung itu, kontan saja para pelanggan yang berada disana tercengang kebingungan. Kehadiran Syekh Ismail yang bertampang Arab dan memakai gamis panjang mengesankan bahwa beliau seorang habib. Habib atau syarif sebutan bagi seorang zuriat nabi Muhammad Saw. Dan bagi masyarakat Banjar, habib dianggap sebagai orang yang harus dimuliakan dan dihormati. Tak ayal, beberapa pelanggan menyingkir untuk memberikan tempat agar syekh Ismail bisa duduk dan terhindar dari tempias air hujan.

"Mau apa?" Tanya Bibi penjaga kedai itu.
"Minta teh hangat sama bubur kacangnya aja,Bi," ujarku.

Disaat menunggu hujan gerimis benar-benar reda, semangkok bubur kacang cukup untuk menghangatkan badan. Begitupula dengan syekh Ismail tampaknya sangat menikmati sekali teh hangat itu.

Ditengah keasyikan menikmati bubur kacang hangat di warung itu, tiba-tiba bibi penjual bubur kacang itu mendekatiku dan bertanya?

"Maaf, Dik! Kalau boleh tahu, siapa orang Arab yang disamping adik itu? Habib yach?" ujarnya berisik-bisik sesekali melirik ke arah syekh Ismail.

Aku katakana bahwa beliau adalah seorang dosen yang datang dari Mesir untuk mengajar di IAIN Antasari, dan baru datang beberapa bulan yang lalu.

"Wah, adak ini pasti pinter bahasa Arabnya, sehingga bisa menjadi penterjemah orang Arab?" ujar bibi itu polos.

Aku hanya tersenyum simpul. "Ah ibu bisa aja! Saya masih belajar bu, tidak hebat-hebat amat!"

"Adek sudah punya pacar atau sudah punya calon pendamping?" Tanya bibi itu lagi.
"Pacar?" aku tersentak kaget dengan pertanyaan bibi itu. Baru pertama kali dalam hidupku seorang bibi-bibi melontarkan pertanyaan seperti itu. "Belum. Emang kenapa, Bi? Aku mengerinyatkan dahiku keheranan.

"Mau nggak jadi menantu Bibi?"

"Haaa!" Aku tersentak lebih kaget. Cepat-cepat aku mengubah mimik wajahku agar si Bibi tidak tersinggung. Aku hanya mengembangkan senyuman yang dibuat-buat agar terlebih lebih manis.

Gerimis reda. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan. Ditengah perjalanan, syekh Ismail bertanya kepadaku secara berbisik. "Apa yang kamu bicarakan tadi dengan penjaga warung tadi?"

Aku teringat bahwa beberapa minggu-minggu terakhir ini, syekh Ismail seringkali mengatakan bahwa ia ingin sekali dinikahkan dengan perempuan Banjar. Aku pun mengatakan sembari bercanda bahwa Bibi di warung tadi tertarik kepada beliau dan bersedia diajak menikah. Demi mendengar penjelasan itu, sepanjang jalan beliau senantiasa tersenyum-senyum sendiri. Dasar orang Mesir!"

Sejak peristiwa itu, aku sudah jarang menemui syekh Ismail, hingga aku berangkat ke Mesir. Tak terasa setelah dua tahun aku meninggalkan beliau ke Mesir dan kembali ke Banjarmasin, aku sudah tidak mendapati beliau lagi. Kabar terakhir yang aku dengar bahwa syekh Ismail itu sudah pulang meninggalkan Banjarmasin sebelum tiba masa tugasnya, dan kembali ke Daqahlia, Manshurah salah kota di provinsi di Mesir. Dan sampai sekarang aku masih belum pernah bertemu dengan beliau.

Semua keganjilan dari sikap syekh Ismail itu, baru akan tersingkap sepenuhnya setelah aku berada di Mesir. Masih banyak pengalaman yang lebih unik dan menarik manakala aku berada di negeri asalnya. Penasaran? Ikuti Serial Keunikan Negeri Kinanah pada episode-episode berikutnya. Tunggu kisah-kisah selanjutnya berpetualang di negeri seribu menara sambil merapung bersama sungai Nil.




Cairo, 10-Oktober 2009
Pukul: 10.35 WK.

Dialektika Takdir (Analogi Banteng, Keledai & Pemburu) Serial Kritik Sastra


Dialektika Takdir
Analogi Banteng, Keledai & Pemburu
(Menyelami Konsep Pemikiran Abu Zhuaib Tentang Takdir)
Sasaran pembaca : Penikmat sastra dan filsafat.
Penulis : Miftahur Rahman el-Banjary
(Cerpenis & Mahasiswa S.2 Sastra Arab di Univ. Dual Arabiyyah, Cairo-Meir)

Takdir adalah pembahasan ontologis yang sangat rumit, baik dalam kajian ilmu filsafat maupun ilmu teologi (ilmu kalam). Kali ini penulis tidak memaparkan pembahasan takdir dari persepsi kajian-kajian ilmu tersebut, namun penulis akan memaparkan fenomena takdir dari persepsi kesusteraan Arab klasik pra Islam atau yang lebih dikenal dengan syair-syair Arab jahily dalam bingkai serial kajian kritik sastra Arab.

Sejatinya materi ini adalah salah satu materi inti untuk mencapai gelar master sastra Arab di Universitas Dual Arabiyyah, Cairo . Dengan alasan tersebut di atas, memang tak mudah mudah bagi penulis untuk membuat artikel ini mudah untuk dipahami semua orang. Namun, penulis tetap berusaha agar para pembaca dapat memahami essensi pemikiran yang terkandung di dalamnya, kendatipun masih jauh dari kesempurnaan.

Bagi para kalangan pengkaji sastra Arab, nama Abu Zhuaib tampaknya tidak asing lagi. Abu Zhuaib adalah seorang pujangga Arab pada masa jahiliyyah dan masuk Islam pada peristiwa Fath al-Makah. Pada masa khalifah Umar Ibn Khatab beliau ikut peperangan dalam misi penaklukan Afrika dan wafat sebagai syuhada pada tahun 26 H. Syair masyhurnya yang berjudul 'ainiyyah' menjadi topik kajian sentral kesusteraan Arab semenjak abad pertengahan sampai sekarang, baik di dunia Arab sendiri maupun di Barat. Kepiawaian Abu Zhuaib dalam bersyair tidak diragukan lagi, hal ini diakui oleh para pujangga Arab sezamannya ataupun sesudahnya. Cukuplah diantaranya, Abu Hasan Ibn Tsabit pernah mengatakan bahwasanya para pujangga yang paling piawai adalah para pujangga dari kalangan kabilah Hudzail dan yang paling piawai diantara mereka adalah Abu Zhuaib.

Betapa sedihnya seorang Abu Zhuaib sebagai seorang ayah yang ditimpa musibah secara bertubi-tubi. Pada tahun yang sama kelima anaknya meninggal dunia akibat penyakit menular. Kesedihan itulah yang membuatnya tersiksa dan menyebabkan badannya semakin kurus, hingga hanya kulitnya sajalah yang membungkus tulang belulang. Dipuncak kesedihannya ia meratap dan menulisakan bait syair yang indah:

أمن المنون وريبها تتوجع # و الدهر ليس بمعتب من يجزع
Kematian dan ancamannya selalu menyebabkan penderitaan
Dan waktu tak pernah bosan untuk menimpakan kesedihan

Takdir dalam hal ini adalah kematian yang senantiasa mencengkeram. Kekuatan manusia tak sedikitpun mampu menghindarkan dari ancaman maut yang mengerikan. Ketika pena takdir sudah digoreskan, palu hakim t'lah dijatuhkan, maka hukum kausalitas tak akan bermakna, dan usaha manusia hanya akan sia-sia. Begitupula dengan perihalnya Abu Zhuaib, dia telah mendatangkan para tabib, menggunakan ratusan penangkal serta mengerahkan kekuatan dan kecerdasan, namun anak panah takdir yang sudah dilepaskan dari busurnya tak akan pernah meleset dari sasaran. Terkait hal ini ia mengatakan :

ولقد حرصت بأن أدفع عنهم # فإذا المنية أقبلت لا تدفع
و إذا المنية انشبت أظفارها# ألقيت كل تميمة لا تنفع
Aku t'lah berusaha menghindari takdir (kematian)
Bila kematian itu datang menjemput, aku tak akan mampu menghindar
Ketika kematian menancapkan kukunya
Semua penangkal yang digunakan tak memberi manfaat.

Kematian menurut Abu Zhuaib adalah bagian dari takdir yang tak seorang pun mampu menghindar dari incarannya. Mata kematian selalu mengintai setiap saat, sebagaimana seorang pemburu yang sedang mengintai binatang buruan dengan tombak terhunus yang siap ditancapkan. Bahkan, si pemburu mempunyai anjing terlatih yang siap menerkam, sebagaimana yang ia katakan dalam syairnya:

و الدهر لا يبقى على حدثانه # شبب أفزته الكلاب مروّع
Tidak ada yang tersisa dari waktu
Melainkan seorang pemburu (kematian) selalu mengintai dengan anjingnya.

Manusia adalah obyek buruan takdir. Dalam hal ini Abu Zhuaib menganalogikan manusia dengan sifat tsaur (banteng) dan himar (keledai). Banteng sebagai simbol kekuatan, kekayaan, kekuasaan dan kecerdasan. Sehingga dengan kegesitan dan kelincahan banteng berlari, kekuatan serta tanduk runcing yang ia miliki, ia mampu menghindar dari incaran si pemburu. Sedangkan penyifatan keledai sebagai simbol kepasrahan dan kesabaran. Keledai binatang yang lemah yang selalu pasrah dengan keadaan. Dengan kelemahan yang ia miliki ia cenderung menunggu sampai ajal datang menghampirinya.

Dengan pengertian sederhana, dalam menghadapi takdir manusia terbagi menjadi dua. Ada yang bersifat seperti banteng, dan ada pula yang bersifat seperti keledai. Manusia yang bersifat seperti banteng selalu optimis, tak pantang menyerah, dan selalu berusaha untuk mempertahankan hidupnya dengan mengerahkan kekuatan dan kecerdasan yang ia miliki. Bahkan, ia tak segan-segan mempergunakan tanduk kekuasaannya untuk bertarung pada saat ia tak mampu lagi untuk menghindar.

Sedangkan manusia berkarakter keledai lebih pasif dan pesimis. Tak ada usaha yang ia lakukan untuk menghindar dari takdir, sebab ia menyadari bahwa menghindar atau tidak sekalipun hasilnya hanya akan sia-sia belaka. Ia cenderung diam menunggu, sampai ajal menghampirinya. Inilah yang kemudian menjadikan manusia yang bersifat keledai akan selalu gagal dalam mengarungi bahtera kehidupan dan mati sebelum waktunya. Terkait hal ini Abu Zhuaib menggambarkan keledai dengan syairnya :

و الدهر لا يبقى على حدثانه # جون السراة له جدائد أربع

Kendatipun banteng mempunyai kekuatan, kegesitan, dan senjata untuk bertarung dengan si pemburu, namun ia tetap merasa was-was dengan ancaman yang senantiasa mengintai disetiap saat. Ia menjadikan semak belukar dan gua sebagai tempat berlindung yang paling aman. Jubah malam yang gelap gulita ia jadikan sebagai tirai pelindung dari endusan si anjing pemburu. Tapi bukan berarti dengan usaha perlindungannya tersebut, membuatnya benar-benar aman. Ia masih khawatir sekiranya si pemburu telah mempersiapkan perangkap dan jebakan, bahkan menikamnya dari arah yang ia tidak sadari dari balik tirai-tirai kegelapan. Kecemasan itu baru berangsur hilang seiring dengan datangnya cahaya sang fajar menyinari alam. Dengan tenangnya ia muncul dari balik semak-semak belantara untuk kembali menghirup nafas kehidupan. Sebagaimana yang ia katakan di dalam syairnya :

شعف الكلاب الضاريات فؤاده # فإذا يرى الصبح المصدق يفزع
Banteng itu diliputi ketakutan akan ancaman anjing si pemburu# Dan apabila fajar t'lah tiba barulah banteng itu muncul dari persembunyiannya.

Akhir dari cerita perburuan ini, banteng dan keledai pun tak luput dari kematian. Pergulatan banteng dan keledai dengan si pemburu dan anjingnya merupakan simbol pergulatan antara usaha manusia mempertahankan kehidupan dari kematian yang senantiasa mencengkeram. Kendatipun, banteng dan keledai keduanya sama-sama meregang nyawa di ujung tombak si pemburu. Namun, kematian keledai tak lebih dari pecundang, dan kematian banteng dianggap sebagai pejuang.

Manusia dengan segala kekuatan dan kecerdasan akal pikirannya tak pernah luput dari jerat takdir dan cengkraman maut. Kendatipun tak akan ada perubahan dari takdir yang telah ditetapkan, namun takdir itu bisa ditangguhkan. Usaha dan ikhtiar harus tetap dilakukan. Tawakal dan doa harus tetap dipanjatkan. Semua manusia akan mati, sebab kematian adalah keniscayaan yang membuat manusia lebih abadi. Oleh karena itulah, pilihlah hidup mulia dan mati sebagai syuhada…

Sekian.

Di tengah kesenyapan malam di pinggiran kota Cairo ,
Imam Madrasah, Nasr City .
Cairo, 18 Okt 2009
Pukul 01.20 PM

Bagaimana Mengkritik Sebuah Karya Novel? (Bag. I)

Sasaran: Krtikus Sastra & Pencinta Sastra

Banyak orang lebih tertarik menjadi penikmat sastra, daripada menjadi kritikus sastra, sebagaimana banyaknya orang yang menyukai novel, ketimbang menjadi kritikus novel itu sendiri. Memang, menjadi seorang penulis novel dan sekaligus menjadi kritikusnya bukanlah hal yang mudah. Keduanya diperlukan pengalaman, sekaligus pengetahuan teoritis yang mendalam, khususnya di bidang dunia sastra. Dan jika saat ini Anda hanya sebagai penikmat sastra, maka tidak ada salahnya sekarang Anda beranjak menjadi seorang kritikus sastra.

Di sini penulis ingin berbagi pengetahuan kepada rekan-rekan pecinta sastra tentang bagaimana menilai sebuah karya novel yang berkualitas, sekedar pengetahuan yang penulis dapatkan dari mata kuliah Prof. Dr. Nabilah Ibrahim, seorang dosen pakar "Adab Rawai" (Sastra Novel) di Prog. S.2 Fak. Sastra di Universitas Dual Arabiyyah, Cairo-Egypt.

Perlu dipahami bahwa kritikus sastra bukanlah orang yang mencar-mencari kekurangan dalam karya orang lain. Itu pemahaman yang keliru! Kritik bertujuan untuk mempelajari kelebihan sebuah karya sastra untuk dipertahankan kelebihannya, dan mempelajari kekurangan-kekuranganya untuk selanjutnya diperbaiki dan dikoreksi agar kesalahan tersebut tidak terulang lagi.

Menulis novel atau cerita tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ada banyak waktu, stamina, pengalaman, dan imajinasi 'liar' yang diperlukan. Sebuah novel mencakup dimensi sosial, psikoligi, antropologi, dan demensi-demensi lainnya dalam kehidupan manusia. Seorang penulis novel dituntut mampu menggerakkan alam sekitarnya, memerankan penokohan sesuai dengan karakternya, memasukkan intrik-intrik pertikaian yang rumit, menempatkan klimaks yang tepat, dan memberikan solving problem terhadap permasalahan di dalamnya. Jadi, novel layaknya memutar kembali sebuah perjalanan hidup manusia dengan kekuatan kata-kata. Inilah yang kemudian membedakan antara novel dengan puisi, atau antara seorang novelis dengan pujangga. Puisi hanya menjelmakan alam sekitar dan kehidupan manusia dengan rangkaian kata-kata yang diperindah, sehingga jelaslah bahwa mengkritik sebuah puisi jauh lebih mudah dibandingkan dengan sebuah novel.

Untuk mengkritik sebuah novel, apakah berkualitas atau tidak, tidak cukup diserahkan sepenuhnya kepada para pembaca dan penikmat sastra. Para kritikus sastra mempunyai kode etik standar untuk menilai sebuah kualitas sebuah karya sastra. Paling tidak disini penulis sebutkan ada lima kriteria dasar yang menempatkan karya novel layak dikatakan berkualitas. Kriteria tersebut dikemas dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab sendiri oleh analisis para kritikus tersebut.

Pertama: Apa motivasi novelis dalam menuliskan karyanya?
Motivasi tersebut terkadang dituliskan oleh novelis secara eksplisit, terkadang juga secara implisit dalam ceritanya. Motivasi inilah yang kelak menjadi pesan utama yang ingin ditranformasikan si novelis kepada para pembacanya. Pertanyaan ini setidaknya memberikan gambaran yang jelas kepada para pembaca tentang apa tujuan dan maksud yang diinginkan oleh novelis di dalam novelnya. Apakah tujuan novel itu sebagai kritik sosial, pembangkit motivasi, mengajak berpetualang, menggali sejarah, melibatkan pembaca dalam intrik-intrik dan tragedi percintaan? Dan pertanyaan-pertanyaan lain semisalnya.

Selanjutnya pertanyaan yang tak kalah pentingnya adalah, apakah novelis tersebut mempunyai hubungan pengalaman langsung dengan dunia yang berkenaan dengan novel yang ditulisnya? Sebagai contoh, novel Arab karya Abdurrahman as-Syarqawi yang berjudul al-Ardh (Bumi); kisah yang bercerita tentang kehidupan komunitas para petani desa di Mesir yang bertikai dengan pemerintah kota dan kalangan borjouis di desa itu, dianggap telah berhasil menggambarkan seluk-beluk kehidupan yang sesungguhnya secara detail, karena penulisnya memang benar-benar pernah hidup dilingkungan tersebut dan bergaul langsung dengan komunitasnya, sehingga permasalahan yang diangkat pun mengena dan ceritanya benar-benar hidup.

Sangat berbeda dengan karya novel yang ditulis oleh Najeeb Kailany yang menulis novel "Gadis Jakarta". Karyanya dianggap belum memenuhi kriteria standar sebuah karya yang berkuliatas, disebabkan penulisnya sendiri belum pernah observasi ke tempat yang ia tulis di novelnya. Dengan demikian, para krtikus sasta menolak keberhasilan dalam karyanya tersebut.

Kedua : Apakah novelis itu berhasil membangun karakter penokohan?
Sebagaimana yang saya kemukan diatas, bahwa ada perbedaan mendasar antara novelis dan pujangga, kendatipun keduanya adalah pekerja dalam dunia sastra. Menulis novel juga tidak bisa disamakan dengan menulis puisi, artikel, essay, kolom, opini, khutbah, dan sejenisnya.

Di dalam sebuah novel jelas harus ada penokohan yang harus dimainkan oleh penulisnya. Sebuah novel dapat dianalogikan sebuah pertunjukan wayang kulit. Novelis sebagai dalangnya alias sutradanya, sekaligus berperan dalam banyak pemeran penokohan. Dengan demikian, seorang novelis benar-benar dituntut mampu memerankan tokoh-tokoh yang dimainkannya sesuai dengan karakternya masing-masing. Sebagai contoh, tokoh yang protagonis, tentunya tidak akan mungkin tertukar dengan karakter antagonis, dan begitupula sebaliknya. Jika penulis mampu memainkan penokohan secara tepat, maka penulis tersebut, dianggap telah berhasil membangun karakter penokohan dalam sebuah karyanya.

Ketiga: Apakah sebuah novel itu memenuhi demensi estetika?
Perlu diingat bahwa sebuah karya sastra, khsusunya novel adalah karya transparan. Dalam pengertian sederhana, sebuah karya novel harus benar-benar dapat dipahami secara jelas oleh para pembaca, baik itu alur ceritanya, pesan yang ingin disampaikan, maupun istilah dan kata-kata yang digunakan. Namun, bukan berarti karya novel meninggalkan demensi-demensi keindahan gaya bahasanya.

Ada banyak fonemena dimana para novelis terjebak kepada tuntutan sebuah estetika, sehinga terkesan memaksakan penggunaan diksi kata dan metaphora, dan asyik dengan bermain-main dengan kata-kata yang mendayu-dayu. Konsekuensi logisnya adalah tidak jelas arah ceritanya, pesan utamanya menjadi kabur, dan pembacanya pun dibuat kebingungan. Dan tentunya fonemena semacam inilah yang kemudian menghambat perkembangan sastra untuk lebih maju dan memasyarakat.

Berkenaan dengan gaya bahasa dalam sebuah novel, penulis berpendapt bahwa seorang novelis tidaklah selamanya dituntut mampu merangkai kata-kata nan puitis demi memenuhi tuntutan estetika tersebut. Bahasa sastra tidak harus merangkai lilitan-lilitan kata-kata yang indah, namun memusingkan kepala untuk memahaminya dan hampa dari esensi filosofi. Namun, sastra adalah bahasa yang indah dan mudah dipahami. Dan sekali lagi, novel bukanlah karya puisi.

Dan dalam satu kesempatan acara "Menulis bersama Habiburrahman el-Shirazi" di Cairo, pada tahun 2008 yang lalu. Penulis sempat menanyakan kepada Kang Abik tentang gaya bahasa yang digunakan dalam karya-karyanya yang terkesan sangat sederhana, sehingga tidak tampak nilai-nilai estetikanya. Tentunya sangat jauh berbeda sekali lagi dengan karya-karya Nuruddin al-Jamie dalam roman "Yusuf dan Zulaikha, atau sekelas karya Nizami dengan Laila Majnun yang sangat sarat sekali dengan gaya bahasa alegoris nan indah dan mendayu-dayu. Dan beliau menjawab: "Di dalam kata-kata sederahana itulah letak karya sastra sesungguhnya." Dan beliau tambahkan bahwa kebutuhan zaman sudah berubah. Saat ini orang lebih cenderung menyukai karya novel yang sarat dengan pesan-pesan normatis, ketimbang menikmati gaya bahasanya yang meliuk-meliuk, namun kehilangan roh religiusnya.

Tampaknya "mazhab Kang Abik" inilah yang kemudian mendobrak kebangkitan karya sastra di Tanah air terkesan yang selama ini didominasi oleh komunitas 'sastawan elit', dan kemudian menjalar ke lapisan masyarakat umum. Pergeseran ini dapat dilihat dari antusias masyarakat awam yang mulai menyukai novel-novel sejenis Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, atau Laskar Pelangi dan sejenisnya. Dengan demikian, demensi yang harus diperhatikan oleh seorang krikus adalah lebih menganalisis kepada kandungan essensinya, daripada kepada gaya diksinya.

Bersambung…

Cairo, 10 Okt 2009
Pukul: 08 PM- 01 AM.

Filsafat Memilih Jodoh


Penulis : Miftahur Rahman el-Banjary
(Cerpenis Borneo & Mahasiswa S.2 Sastra Arab di Univ. Dual Arabiyyah, Cairo)

Hal yang paling sulit dilalui seseorang dalam hidupnya adalah ketika mencari jodoh. Memilih pasangan bukan soal sepele, sebab pasangan kitalah yang akan menentukan masa depan keluarga dan generasi kita selanjutnya. Orang yang kita terima sebagai pasangan kita, bukan sekedar menemani sehari atau dua hari, akan tetapi dia akan menemani kita bertahun-tahun, bahkan sampai ajal menjemput. Oleh karena itu diperlukan berbagai macam pertimbangan dPenulis : Miftahur Rahman el-Banjary
(Cerpenis Borneo & Mahasiswa S.2 Sastra Arab di Univ. Dual Arabiyyah, Cairo)

Jika kita menonton suatu pertunjukan atau tayangan sinema di layar kaca, maka dengan mudah kita mengenali mana pemeran utama dan mana pemain figurannya, bukan? Pemeran utama selalu menjadi pusat perhatian, ketimbang sekedar pemeran biasa. Sang 'jagoan' tentunya lebih diidolakan daripada pemeran pembantu. Begitupula dalam panggung kehidupan sehari-hari, setiap orang berperan sesuai dengan perannya masing-masing. Yang membedakannya hanyalah pengatur peran tersebut. Jika pada panggung petunjukan atau sinetron peran ditentukan oleh sutradara, sedangkan pada peran di panggung kehidupan ini ditentukan oleh keinginan kita sendiri. Kita bebas memilih peran apa saja yang kita inginkan. Oleh karena itu, mengapa kita lebih memilih menjadi pemeran figuran?

Ada orang yang ketika masa kecilnya biasa-biasa saja. Pada masa-masa sekolah, dia tidak tergolong anak yang cerdas dan tidak pula anak yang bodoh. SHal yang paling sulit dilalui seseorang dalam hidupnya adalah ketika mencari jodoh. Memilih pasangan bukan soal sepele, sebab pasangan kitalah yang akan menentukan masa depan keluarga dan generasi kita selanjutnya. Orang yang kita terima sebagai pasangan kita, bukan sekedar menemani sehari atau dua hari, akan tetapi dia akan menemani kita bertahun-tahun, bahkan sampai ajal menjemput. Oleh karena itu diperlukan berbagai macam pertimbangan dan pemikiran yang matang, sehingga tidak akan menuai kekecewaan. Tidak mempertimbangkan calon pasangan dengan tepat, jelas akan berbuah kekecewaan. Namun, terlalu memilih yang "ideal" pun bisa menuai kegagalan.

Ada sebuah cerita menarik yang dapat dijadikan i'tibar dalam memilih jodoh. Terkisahlah seorang pemuda yang selalu gagal menemukan jodohnya, padahal dia seorang pemuda yang baik, tampan dan bertanggung jawab. Tak sedikit gadis yang mengharapkan bisa menikah dengannya. Namun, dia terlanjur bertekad pada dirinya tidak akan menikah selama belum mendapakan pasangan yang ideal. Namun, sang gadis pujaan tak kunjung datang, sedangkan ia sadar usianya semakin bertambah tua. Akhirnya, dia memutuskan mendatangi seorang sufi yang shaleh untuk meminta nasehat.

Sang sufi memerintahkan pemuda tersebut untuk menebang kayu jati terbaik di sebuah hutan. Dengan bekal sebilah kapak, berangkatlah pemuda itu dengan semangatnya menjelajahi pepohonan jati yang rimbun. Kali pertama, pemuda itu memasuki hutan, dia sudah menemukan pohon kayu yang besar dan kukuh batangnya, namun dia segera berlalu dan berpikir masih banyak pohon kayu yang lebih baik. Pemuda tersebut terus berjalan dan kembali menemukan pohon kayu yang lebih baik dari pertama. Ketika dia beniat menebang, muncul keraguan di dalam hatinya, "Mungkin disana masih ada pohon kayu yang jauh lebih baik". Begitulah seterusnya, hingga sore hari dan ia pun pulang tanpa membawa sebatang pohon kayu pun.

"Mana kayu yang kau tebang ?" tanya sang sufi.
"Aku tak mampu membawa sebatang pohon kayu pun. Aku bingung pohon kayu yang mana yang harus aku tebang, sebab semua pohon kayu yang aku temui semuanya bagus," jawab si pemuda.
"Berarti kegagalan itu disebabkan oleh dirimu sendiri," ujar sang sufi.

Keesokan harinya, sang sufi memerintah si pemuda untuk pergi membawa padi yang paling bagus. Pergilah pemuda tersebut ke sawah dan kembali dalam beberapa menit dengan membawa sebatang padi yang masih menguning.
Dengan wajah berbinar sang pemuda berkata :
"Aku telah mendapatkannya!"
"Kenapa kau secepat itu kembali ?" sang sufi bertanya.
"Aku tidak mau lagi peristiwa kemarin terulang lagi, sehingga membuat aku gagal. Aku yakin bahwa masih banyak padi yang lebih baik daripada padi yang kubawa ini, namun aku sadar jika aku terus mencari, maka selamanya aku tak akan pernah mendapatkan apa yang kuinginkan.

Kebanyakan kita, seperti pemuda ini yang selalu mendambakan pasangan yang terbaik dan ideal buat kita. Memang, tidak ada salahnya memasang kriteria seideal mungkin, akan tetapi bukan berarti menutup pintu untuk menerima yang sudah ada di depan mata. Kita sering tak menyadari, bahwa ternyata jodoh yang kita inginkan itu sudah berada di depan mata, namun kita selalu meyakini bahwa masih ada yang lebih baik. Begitulah seterusnya, kita selalu mencari dan berharap mendapatkan yang lebih baik, hingga tanpa terasa usia kita semakin bertambah dan kita tak mendapatkan seseorang yang menjadi pendamping hidup.
***

Memilih jodoh sama halnya dengan memilih bus, ketika kamu berangkat ke kantor atau kuliah.
Suatu hari kamu berdiri di depan sebuah halte bus. Datang sebuah bus berhenti di depanmu, kamu akan berkata:

"Ah bus ini penuh, terlalu sumpek, aku nggak bakalan betah di dalamnya"
Bus pertama berlalu dan tak lama kemudian, datanglah bus kedua:
"Ah busnya kurang asyik, nggak keren, kurang menarik!"
Bus kedua pun berlalu dan datanglah bus ketiga.
Kamu berminat menumpanginya, namun bus tersebut berlalu begitu saja. (Kacian dech lo he..he..!)
Bus keempat berhenti di depan kamu, kamu berkata lagi :
"Bus ini kosong, tapi nggak ada AC-nya, aku tidak mau kepanasan."

Maka kamu pun membiarkan bus keempat itu berlalu dari hadapan kamu. Waktu terus berlalu, sedangkan waktu keberangkatanmu menuju kampus atau kantor semakin dekat, akhirnya ada bus yang kelima, kamu tidak sabar lagi dan langsung menaikinya. Ternyata bus yang kamu tumpangi berbeda jurusan dengan tujuanmu. Dan kamu sadar bahwa betapa banyak waktu yang kau sia-siakan hanya untuk mencari sebuah bus yang ideal.
Penulis : Miftahur Rahman el-Banjary
(Cerpenis & Mahasiswa S.2 Sastra Arab di Univ. Dual Arabiyyah, Cairo)

Seringkali seseorang menunggu pasangan yang benar-benar ideal untuk menjadi pasangan hidupnya. Padahal tidak ada seorang pun yang memenuhi 100% keidelan kita. Dan kamu pun tidak akan menjadi orang 100% sesuai dengan keinginan pasanganmu. Tidak salah jika kita menentukan kriteria standar seideal yang kita inginkan, namun tak ada salahnya juga kita memberi kesempatan kepada orang yang berhenti di depan kita, bukan ? Tentunya dengan jurusan yang sesuai dengan yang kamu tuju.

Jika ternyata tidak cocok, apa boleh buat. Kamu bisa berteriak "kiri" dan turun dengan sopan. Maka memberi kesempatan pada yang berhenti di depan kamu, semua bergantung kepada diri kamu sendiri. Daripada kita harus berjalan sendirian ke kantor; dalam artian menjalani hidup ini tanpa kehadiran orang di kasihi.

Jika kamu mendapatkan bus yang bagus, kosong, ber-AC, sesuai dengan keinginan dan tujuanmu, kamu sebisa mungkin memberhentikan bus tersebut dan memberikan kesematan buat dirimu memasuki kedalamnya, tentu akan lebih baik dan merupakan suatu keberkahan yang sangat berharga bagi kamu maupun dia.